b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

Senin, 16 Desember 2013

Afiksia forensik

thumbnail Title: Afiksia forensik
Posted by:Unknown
Published :2013-12-16T06:15:00-08:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
Afiksia forensik
 ASFIKSIA
Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia.
Terminologi
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”, dan “sphinx” yang artinya “nadi”. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak ada nadi” atau “tidak berdenyut”. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya (1).
Definisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.
Dalam kenyataan sehari-hari, hipoksia ternyata merupakan gabungan dari empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai ciri tersendiri. Walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing kelompok akan menghasilkan akibat yang sama bagi tubuh. Kelompok tersebut adalah :
a. Hipoksik-hipoksia
Hipoksia hipoksik  adalah  hipoksia yang disebabkan oleh rendahnya tekanan parsial oksigen dalam darah arteri yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk paru-paru sehingga oksigen tidak dapat mencapai darah dan gagal untuk masuk dalam sirkulasi darah. Kegagalan ini bisa disebabkan adanya sumbatan / obstruksi di saluran pernapasan, baik oleh sebab alamiah (misalnya penyakit yang disertai dengan penyumbatan saluran pernafasan seperti laringitis difteri, status asmatikus, karsinoma bronchonenik, dan sebagainya) atau oleh trauma/kekerasan yang bersifat mekanik, seperti tercekik, penggantungan, tenggelam dan sebagainya
b. Anemik-hipoksia
Anemik hipoksia, dimana PO2 darah arteri normal tetapi jumlah hemoglobin yang tersedia untuk mengangkut oksigen berkurang. Contohny, keracunan Karbon monoksida yang menghambat kemampuan hemoglobin berikatan dengan oksigen.
c. Stagnan-hipoksia
Di mana ada pembatasan lokal aliran darah beroksigen ke jaringan. Oksigen diberikan ke seluruh  tubuh namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Contohnya adalah iskemia otak, penyakit jantung iskemik dan hipoksia Intraurine, yang merupakan penyebab kematian perinatal tersering.
d. Histotoksik-hipoksia
Hipoksia histotoksik di mana jumlah oksigen yang mencapai sel-sel normal, tetapi sel tidak dapat secara efektif menggunakan oksigen karena kerusakan enzim  fosforilasi oksidatif. Contohnya adalah pengaruh minum minuman beralkohol.
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala  di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun  dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada  enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya,  sitokrom  dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
d. Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan  (Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa keracunan.
Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut :
1. Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.
2. Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli lemak dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang panjang. Emboli udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya barbiturate, narkotika.
Gejala Asfiksia
Ada 4 stadium gejala / tanda dari asfiksia, yaitu :
1. Fase dispneu / sianosis
Pada fase dispneu / sianosis asfiksia berlangsung kira-kira 4 menit. Fase ini terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon dioksida. Tingginya kadar karbon dioksida akan merangsang medulla oblongata sehingga terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dan tekanan darah. Pernapasan terlihat cepat, berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah terukur meningkat.
2. Fase konvulsi
Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa kejang klonik lalu kejang tonik kemudian opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil dilatasi, denyut jantung lambat, dan tekanan darah turun.
3. Fase apneu
Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita amati berupa adanya depresi pusat pernapasan (napas lemah), kesadaran menurun sampai hilang dan relaksasi spingter.
4. Fase akhir / terminal / final
Fase akhir asfiksia ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan lengkap. Denyut jantung beberapa saat masih ada lalu napas terhenti kemudian mati.
Gambaran Postmortem pada Asfiksia Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama, yaitu:
1. Pada pemeriksaan luar :
a. Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada HbO2.
b. Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran kapiler darah setempat.
c. Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..
d. Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pada pemeriksaan dalam :
a. Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat tubuh & sianotik.
b. Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.
c. Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
d. Busa halus di saluran pernapasan.
e. Edema paru.
f. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.

A. Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
1. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
a. Pembekapan (smothering)
Definisi : Pembekapan (smothering) adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan napas yaitu hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikel-partikel kecil.
Etiologi Kematian pada Pembekapan: Ada 3 penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu :
1. Asfiksia
2. Edema paru
3. Hiperaerasi
Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang lambat dari pembekapan.
Cara Kematian pada kasus pembekapan, yaitu
a) Kecelakaan (paling sering), misalnya tertimbun tanah longsor atau salju, alkoholisme, bayi tertutup selimut atau mammae ibu
b) Pembunuhan, misalnya hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.
c) Bunuh diri
Gambaran Postmortem Pembekapan
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus pembekapan, yaitu :
1) Mencari penyebab kematian.
2) Menemukan tanda-tanda asfiksia.
3) Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang lambat.

b. Penyumbatan (gagging dan choking)
Definisi, Tersedak (chocking) adalah suatu suffocation dimana ada benda padat yang masuk dan menyumbat lumen jalan udara.
Cara Kematian Pada Kasus Tersedak
Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu :
a) Kecelakaan (paling sering), seperti gangguan refleks batuk pada alkoholisme, pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke dalam mulutnya, tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi eter.
b) Pembunuhan (kasus infanticide)
Gambaran Postmortem
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus tersedak (chocking), yaitu :
Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada tanda kekerasan di mulut korban.
Menemukan tanda asfiksia.
Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada kematian lambat.
Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan abses.

2. Penekanan dinding saluran pernafasan:
a. Penjeratan (strangulation)
Definisi
Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan korban.
Etiologi Kematian pada Penjeratan
Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu :
1. Asfiksia
2. Iskemia
3. Vagal refleks
Cara Kematian pada Penjeratan:
Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :
a. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman dahulu).
b. Kecelakaan.
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.
c. Bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :
1. Arah jerat mendatar / horisontal.
2. Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
3. Jenis simpul penjerat.
4. Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
5. Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk menjerat.
Gambaran Postmortem
Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus penggantungan (hanging) kecuali pada :
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.
   
b. Pencekikan (manual strangulation)
Definisi
Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah. Pencekikan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
2. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
3. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini disebut mugging.
Etiologi Kematian pada Pencekikan
Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu (1):
a. Asfiksia
b. Iskemia
c. Vagal reflex
Cara Kematian pada Pencekikan
Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu (1):
Pembunuhan (hampir selalu).
Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.
Gambaran Postmortem Pencekikan
Pemeriksaan Luar:
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain :
1. Tanda asfiksia.
Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita temukan antara lain adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala, leher atau otak. Lebam mayat akan terlihat gelap.
2. Tanda kekerasan pada leher.
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku dan bantalan jari. Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat menemukan sidik jari pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan (right handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas kuku juga tak luput dari perhatian kita.
3. Tanda kekerasan pada tempat lain.
Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah, hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan perlawanan.
Pemeriksaan Dalam:
Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu:
1. Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
2. Fraktur.
Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
3. Memar atau robekan membran hipotiroidea.
4. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.

c. Gantung (hanging)
Definisi
Penggantungan (hanging) merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban.
Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 4 penyebab kematian pada penggantungan, yaitu : Asfiksia, Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi, Vagal reflex, Kerusakan medulla oblongata atau medulla spinalis
Cara Kematian pada Penggantungan
Ada 3 cara kematian pada penggantungan, yaitu :
1. Bunuh diri (paling sering) .
2. Pembunuhan, termasuk hukuman mati .
3. Kecelakaan, misalnya bermain dengan tali lasso, tali parasut pada terjun payung, dan penggunaan tali untuk mendapat kepuasan seks.
Untuk mengetahui lebih jelas cara kematian ini, hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.
b. Arah serabut tali penggantung.
Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila arah serabut tali menjauhi korban menjadi bukti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung.
1. Distribusi lebam mayat.
Distribusi lebam mayat harus di perhatikan secara seksama, apakah sesuai dengan posisi mayat ataukah tidak.
2. Jenis simpul tali gantungan.
Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan apakah korban melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan. Simpul tali, baik simpul hidup maupun simpul mati, bila melewati lingkar kepala korban dapat menunjukkan korban melakukan bunuh diri. Apabila simpul tali tidak melewati lingkar kepala korban, berarti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung. Simpul hidup harus dilonggarkan secara maksimal untuk membuktikannya.
Gambaran Postmortem pada Penggantungan
Pemeriksaan luar :
a. Kepala.
Muka korban penggantungan akan mengalami sianosis dan terlihat pucat karena vena terjepit. Selain itu, pucat pada muka korban juga disebabkan terjepitnya arteri. Mata korban dapat melotot akibat adanya bendungan pada kepala korban. Hal ini disebabkan terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat.
Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena asfiksia.
Lidah korban penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur.Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea.
b. Leher.
Alur jeratan pada leher korban penggantungan berbentuk lingkaran (V shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri :
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan (hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban. Alur jeratan yang asimetris menunjukkan letak simpul disamping leher.
c. Anggota gerak (lengan dan tungkai).
Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
d. Dubur dan Alat kelamin.
Dubur korban penggantungan dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid). Pengeluaran urin disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia. Lebam mayat dapat ditemukan pada genitalia eksterna korban.
Pemeriksaan Dalam :
1. Kepala.
Kepala korban penggantungan dapat kita temukan tanda-tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata. Kedua kerusakan tersebut biasanya terjadi pada hukuman gantung (judicial hanging).
2. Leher.
Leher korban penggantungan dapat kita temukan adanya perdarahan dalam otot atau jaringan, fraktur (os hyoid, kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea), dan robekan kecil pada intima pembuluh darah leher (vena jugularis).
3. Dada dan perut.
Pada dada dan perut korban dapat ditemukan adanya perdarahan (pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan/kongesti organ.
4. Darah.
Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap dan konsistensinya lebih cair.
Tabel 1. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
1 Tanda – tanda penggantungan antemortem bervariasi. Tergantung dari cara kematian korban Tanda – tanda postmortem menunjukkan kematian yang bukan disebabkan penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan letaknya pada leher bagian atas Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada sisi leher Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas jejas jerat dan pada tungkai bawah Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba seperti perabaan kertas perkamen, yaitu tanda parchmentisasi Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-lain sangat jelas terlihat terutama jika kematian karena asfiksia Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain tergantung dari penyebab kematian
7 Wajah membengkak dan mata mengalami kongesti dan agak menonjol, disertai dengan gambaran pembuluh dara vena yang jelas pada bagian kening dan dahi Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat, kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Demikian juga sering ditemukan keluarnya feses Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak ada
10 Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut, dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal ini merupakan pertanda pasti penggantungan ante-mortem Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus selain kasus penggantungan.
Tabel 2. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
1 Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada remaja dan orangdewasa. Anak-anak di bawah usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50 tahun jarang melakukan gantung diri Tidak mengenal batas usia, karena tindakan pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari korban dan tidak bergantung pada usia
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan terletak pada bagian atas leher Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus, mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang letaknya pada bagian samping leher Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara lain Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk bunuh diri
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa menyebabkan kematian mendadak tidak ditemukan pada kasus bunuh diri Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban biasanya mengarah kepada pembunuhan
6 Racun. Ditemukannya racun dalam lambung korban, misalnya arsen, sublimat korosif dan lain-lain tidak bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin mendorong korban untuk melakukan gantung diri Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, mayat biasanya ditemukan tergantung pada tempat yang mudah dicapai oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
9 Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan dalam keadaan tertutup dan terkunci dari dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh diri Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada kasus gantung diri Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
 
INHALATION OF SUFFOCATING GASSES
Definisi
Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban menghisap gas tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi.
Cara kematian pada kasus Inhalation of suffocating gasses:
Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses, yaitu menghisap gas :
1. CO
2. CO2
3. H2S
Gas CO banyak pada kebakaran hebat. Gas CO2 banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah. Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.
B. ASFIKSIA TRAUMATIK
TENGGELAM
Kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan.
Terminologi tenggelam :
a. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban tenggelam. Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.
b. Dry drowning
Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat spasme laring dan kematian terjadi sebelum menghirup air.
c. Secondary drowning
Terjadi gejala bebertapa hari setelah korban tenggelam dan diangkat dari dalam air dan korban meninggal akibat komplikasi
d. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air dingin atau tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
Patofisiologi Akibat Tenggelam
Dalam air tawar
Absorbsi/aspirasi cairan masif à hemodilusi à hemolisis à gangguan keseimbangan elektrolit, terutama hiperkalemia di otot jantung à fibrilasi ventrikel & penurunan tekanan à anoksia otak à kematian dalam 5 menit
Pada keadaan ini terjadi absorbsi/aspirasi cairan masif hingga terjadi hemodilusi oleh karena konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah. Air akan masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis).
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung hingga kadar ion kalium dan plasma meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabuit otot jantung dapat mendorong terjadinya febrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian dapat terjadi dalam waktu 5 menit.
Dalam air asin
Absorbai/aspirasi cairan masif à edema pulmo à hipovolemia, hemokonsentrasi à pelambatan aliran sirkulasi à payah jantung à kematian 8-9 menit
Konsentrasi elektrolit cairan asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.
Adapun mekanisme kematian pada orang tenggelam dapat berupa :
a)      Asfiksia akibat spasme laring
b)      Asfiksia karena gagging dan choking
c)       Refleks vagal
d)      Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar
e)      Edema pulmoner (dalam air asin)
Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam :
1) Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain yang terdapat dalam air.
2) Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada ekstremitas akibat kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air (sebagai gambaran seperti saat seseorang berdiri bulu kuduknya / “merinding”)
3) Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman hand/skin, yakni berwarna
4) Keputihan dan berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah mencuci)
5) Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air. (sebagai gambaran : tangan korban menggenggam erat hingga sulit dibuka dan biasanya terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam genggamannya).
6) Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yang terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi terus, meskipun korban sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan.
7) Luka memar/lecet/robek bisa ditemukan pada beberapa bagian tubuh, akibat benturan dengan benda-benda keras dalam air (misalnya batu sungai atau karang laut) pada saat tenggelam.
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:
1. Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.
2. Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.
3. Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak “paltauf” yaitu bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering terlihatn di bawah pleura.
4. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantung kiri dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya
5. Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
6. Benda air (diatom) di jaringan paru, darah, ginjal, tulang.

Gejala Asfiksia
Ada empat stadium hingga terjadinya asfiksia, antara lain :
1. Dispnue
Durasi 4 menit, dengan gejala nafas cepat dalam, tekanan darah naik, nadi cepat, dan sianosis terutama pada muka dan tangan.
Gejala tersebut akibat rangsangan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh karena kurangnya oksigen pada sel darah merah disertai penumpukan kadar CO2 berupa amplitudo-frekuensi nafas meningkat, nadi cepat, tensi tinggi, tanda-tanda sianosis pada muka-tangan
2. Konvulsi
Durasi 2 menit, semula klonik à tonik à epistotonik, rangsangan susunan saraf pusat akibat peningkatan CO2 berupa kejang klonik, lalu tonik, akhirnya epistotonus, pupil dilatasi, denyut jantung menurun, tensi turun.
Pupil dilatasi, bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat syaraf yang letaknya lebih tinggi.
3. Apnue
Durasi 1 menit, dengan gejala nafas sangat lemah atau berhenti, tak sadar, pengeluaran feses, urin & sperma. Depresi pusat nafas hingga berhenti, kesadaran menurun, relaksasi spinkter.
4. Stadium akhir
- Paralise total, jantung masih berdenyut beberapa saat postapneu.
- Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher.
Lama proses asfiksia sampai timbulnya kematian umumnya antara 4-5 menit.  Massa dari saat asfiksia timbul hingga terjadi kematian sangat bervariasi, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda - tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Tanda-tanda Asfiksia
A. Tanda klasik / umum :
- Sianosis
- <<< O2, darah lebih encer dan gelap à kulit, mulosa & lebam mayat umumnya lebih gelap
- Juga terdapat umum pada banyak kematian
Kurangnya oksigen menyebabkan darah lebih encer dan lebih gelap. Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap. Tanda ini juga terdapat umum pada banyak kematian.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Pada kasus keracunan sianida dan CO, lebam jenazah berwarna merah terang meskipun tidak selalu demikian, sebab masing-masing mempunyai kadar oskihemoglobin dan CO-Hb yang tinggi.                                
- Kongesti vena
Khas asfiksia bila kongesti sistemik pada kulit dan organ selain paru-paru
Petechial haemorrages (tardieu spot)
Terutama pada jaringan longgar (kelopak mata) atau organ dengan membran trasnparan (pleura, perikardium)
Kongesti yang terjadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan merupakan tanda yang khas. Kongesti yang khas asfiksia bila kongesti sistemik pada kulit dan organ selain paru-paru, termasuk dilatasi jantung kanan. Sebagai akibat dari kongesti vena, akan terlihat adanya bintik-bintik perdarahan (petechial haemorrages) atau disebut tardieu’s spot. Bintik perdarahan terjadi karena timbulnya peningkatan permeabilitas kapiler dan juga karena rusak/pecahnya dinding endotel kapiler akibat hipoksia. Bintik perdarahan ini lebih mudah terjadi pada jaringan longgar, seperti misalnya jaringan bawah kelopak mata, atau organ dengan membran trasnparan (pleura, perikardium). Pada asfiksia hebat, bintik perdarahan dapat terlihat pada faring dan laring.

- Edema
Disebkan karena kerusakan pada pembuluh kapiler sehingga permeabilitas meningkat, terutama pada paru-paru
B. Tanda spesifik yang berhubungan dengan jenis penyebab asfiksia
a) Pembekapan
- Bila pembekapan dengan menggunakan benda lunak, maka pada pemeriksaan luar mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.
- Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
- Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir, adalah akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
b) Penggantungan
a. Jejas jerat :
Jejas jerat berupa lekukan melingkari leher, baik penuh atau sebagian dan disekitarnya terlihat bendungan. Arah jejas jerat mengarah ke atas menuju simpul dan membentuk sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan membentuk sudut semu. Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan seperti kertas perkamen. Jeratan akan semakin tidak jelas jejasnya, apabila penggantungan menggunakan alat yang lunak dan atau mempunyai ukuran lebar makin besar. Hal serupa terjadi pula pada penjeratan. Alat tersebut misalnya kain jarik, sprei atau sarung yang digulung.
b. Resapan darah
Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda intravital, yakni adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal. Hal serupa pada prinsipnya terjadi pada semua jenis trauma pada semua jaringan.
c. Fraktur os hyoid (biasanya pada cornu majus) dan cartilage crycoid
d. Lebam mayat
Lebam mayat dapat ditemukan pada bagian tubuh bawah, anggota bagian distal serta alat genital distal apabila sesudah mati tetap dalam keadaan tergantung cukup lama hingga lebam mayat menetap.
e. Lidah
Lidah akan terlihat menjulur bila posisi tali di bawah kartilago thyroid dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan. Sebaliknya, apabila lilitan tali di atas kartilago thyroid, lidah tidak akan menjulur.
Posisi gantung :
1. komplit hanging
2. inkomplit hanging
                a. duduk / berlutut
                b. berbaring terlungkup
Letak simpul :
1. typical hanging             : belakang kepala
2. atypical hanging           : samping leher kiri dan kanan, depan

c) Penjeratan
- Jejas jerat
# jerat   : jejas jerat / simpul
# jejas   : luka lecet tekan
                a. mendatar, seluruh leher
                b. di bawah rawan gondok
                c. simpul mati
# jejas jerat        : tali penjerat – keras, kecil, kasar – terlihat jelas, -- halus, lebar, lunak –   tidak terlihat jelas
- + luka/memar bagian tubuh lain
- + sering adanya buih halus kemerahan di jalan nafas
- Resapan darah subkutis / otot
- Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan gondok.
- Bila jerat kasar seperti tali dan tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba kaku seperti kertas perkamen.
- Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar jejas jerat, biasanya terjadi karena korban berusaha membuka jeratan.
- Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah.
- Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas

d) Pencekikan
o Luka/memar di daerah leher bentuk serupa kuku
o Resapan darah di bagian dalam leher, terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar thyroid
o Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid
o Buih halus lubang mulut dan hidung
Pada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka karena tertekannya pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan arteri vertebrallis tidak terganggu.
Tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara mencekik.
e) Tenggelam
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik.
Dikenal beberapa terminologi yang terkait kasus tenggelam, antara lain :
1. Wet drowning.
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban tenggelam. Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.
2. Dry drowning.
Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat spasme laring dan kematian terjadi sebelum menghirup air.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala bebertapa hari setelah korban tenggelam dan diangkat dari dalam air dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air dingin atau tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

Patofisiologi Akibat Tenggelam
Dalam air tawar
Pada keadaan ini terjadi absorbsi/aspirasi cairan masif hingga terjadi hemodilusi oleh karena konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah. Air akan masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis).
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung hingga kadar ion kalium dan plasma meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabuit otot jantung dapat mendorong terjadinya febrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian dapat terjadi dalam waktu 5 menit.
Dalam air asin
Konsentrasi elektrolit cairan asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.

Adapun mekanisme kematian pada orang tenggelam dapat berupa :
1. Asfiksia akibat spasme laring
2. Asfiksia karena gagging dan choking
3. Refleks vagal
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
5. Edema pulmoner (dalam air asin)

Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam:
Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain yang terdapat dalam air.
Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada ekstremitas akibat kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air (sebagai gambaran seperti saat seseorang berdiri bulu kuduknya / “merinding”)
Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman hand/skin, yakni berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah mencuci)
Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air. (sebagai gambaran : tangan korban menggenggam erat hingga sulit dibuka dan biasanya terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam genggamannya).
Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yang terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi terus, meskipun korban sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan.
Luka memar/lecet/robek bisa ditemukan pada beberapa bagian tubuh, akibat benturan dengan benda-benda keras dalam air (misalnya batu sungai atau karang laut) pada saat tenggelam

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:
Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.
Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.
Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak “paltauf” yaitu bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering terlihatn di bawah pleura.
Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantung kiri dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya
Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
Benda air (diatom) di jaringan paru, darah, ginjal, tulang.

REFERENSI

1. Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta, Hal 170-190.
2. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New York, Page 345-360.
3. Simpson, K., 1979, Forensic Medicine, Eighth Edition, The English Language Book Society an Edward Arnold (Publishers) Ltd, Page 91-112
4. Budiyanto, A., dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik, FK UI, Hal 55-70.
5. Dahlan S., 2000, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum, Badan Penerbit Undip, Hal 107-124

| bisnis online |

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar