Pada beberapa dekade terakhir,
kemajuan ilmu kedokteran sangat berpengaruh pada perawatan kesehatan dan akan
mempengaruhi pertumbuhan populasi lanjut usia. Di Indonesia, jumlah jiwa anggota
keluarga umur 60 tahun ke atas, secara nasional tahun 2009 diperkirakan sebanyak
15.504.089 jiwa atau 6,8% dari seluruh jiwa dalam keluarga (BKKBN,2009). Menurut Lembaga Demografi Universitas
Indonesia, persentase jumlah penduduk berusia lanjut pada tahun 1985 adalah
3,4% dari total penduduk dan pada tahun 2000 mencapai 7,4%. Data Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa peningkatan warga berusia lanjut di
Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam waktu 35
tahun (1990-2025), sedangkan tahun 2020 mencapai 25,5 juta jiwa (Soejono,2006).
Akibat populasi usia lanjut
yang meningkat maka akan terjadi transisi epidemiologi yaitu bergesernya pola
penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi menjadi penyakit-penyakit degeneratif,
diabetes, hipertensi, neoplasma, dan penyakit jantung koroner. Konsekuensi dari
peningkatan warga usia lanjut adalah meningkatnya jumlah pasien geriatri dengan
kerakteristiknya yang berbeda dengan warga usia lanjut atau dewasa muda.
Karakteristik pasien geriatrik adalah multipatologi, menurunnya daya cadangan
faali, berubahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, terganggunya
status fungsional pasien geriatri, dan kerap terdapat gangguan nutrisi, gizi
kurang atau buruk (Soejono,2006).
Jika karena sesuatu hal pasien
geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi, maka seringkali akan timbul
gangguan fungsi kognitif, depresi, imobilisasi, instabilisasi, dan
inkontinensia (atau lazim disebut sebagai geriatric
giants). Keadaan akan semakin rumit jika secara psikososial terdapat
hendaya seperti neglected atau miskin
(finansial). Sehingga pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat holistik
dan paripurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif ,
preventif, dan promotif (Soejono,2006). Pendekatan klinis yang lazim dikerjakan seperti anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang ditambah pengkajian untuk mendeteksi gangguan yang
terutama sering terdapat pada usia lanjut yaitu fungsi kognitif dan afek,
mobilitas, gait, keseimbangan,
kontinens, nutrisi, penglihatan dan pendengaran. Pengkajian status fungsional
untuk mengatasi hendaya menjadi penting karena sering hal ini yang menjadi
skala prioritas penyelesaian masalah (Supartondo,2001).
Penilaian status kognitif
Definisi kognisi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah kegiatan
atau proses
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu
Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSU
dr. Soetomo, Surabaya 2010
|
memperoleh
pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu
melalui pengalaman sendiri
atau hasil pemerolehan pengetahuan. Gangguan kognitif pada penderita dewasa
dihubungkan dengan penurunan fungsi aktifitas sehari-hari, peningkatan risiko
cedera sendiri, adanya kebutuhan terhadap orang yang merawat, dan meningkatkan
risiko mortalitas (Weisskopf,2004).
Sebagai pengguna utama layanan
kesehatan primer, para lanjut usia harus dinilai aspek kognitifnya terutama
terkait dengan kemampuan menjalankan tugas sehari-hari. Dokter sering membuat
prediksi yang salah terhadap fungsi kognitif pasien berdasarkan evaluasi non
kognitif saja. Penilaian kognitif merupakan kemampuan klinis dan dapat untuk
mendiagnosis kelainan berpikir, yang membuat estimasi kelainan fungsional lebih
akurat. Penilaian kognisi dapat memprediksi mortalitas selama perawatan di
rumah sakit. Penilaian kognitif digunakan untuk skrining kelainan kognitif,
diagnosis banding faktor penyebab, dan derajat beratnya kelainan, atau
monitoring laju penyakit (Brown,2003).
Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien geriatri yang
dirawat inap antara lain memori segera dan jangka pendek, persepsi, proses
pikir dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam
pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut
adanya gangguan tetntu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk
melaksanakan program yang telah direncakan.
Gangguan faal kognitif bisa timbul mulai derajat yang ringan sampai yang
berat. Hal tersebut memerlukan pendekatan diagnosis dan terapi tersendiri. Berbagai
instrumen untuk mendiagnosis telah dikembangkan dengan variasi yang luas. Variasi
tersebut mulai dari instrumen yang singkat dan dapat dikerjakan <1 akan="" beberapa="" dan="" dapat="" diagnosis.="" digunakan="" gangguan="" i="" instrumen="" jam.="" kognitif="" membutuhkan="" mengevaluasi="" menit="" menurut="" neuropsikologi="" pada="" pemilihan="" penilaian="" sampai="" sistem="" skor="" tergantung="" tersedia="" tujuan="" untuk="" waktu="" yang="">Abbreviated Mental Test1>
(AMT)
yang memuat sepuluh pertanyaan dan dapat digunakan sebagai penapis. Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih rinci dapat digunakan Mini Mental State Examination (MMSE). Evaluasi depresi mengacu
kepada Diagnostic and Statistical Manual,
third edition, Revised (DSM-III-R), untuk penapisan dapat digunakan Back Depression Inventory (BDI) (Supartondo,2001).
.
Makalah ini berisi teknik yang digunakan untuk mengevaluasi kognisi,
terutama menggunakan the Mini Mental
State Examination (MMSE), dan the
Abbreviated Mental Test (AMT) yang biasa digunakan dalam penilaian fungsi
kognisi pada pengkajian paripurna pasien lanjut usia.
The
Mini Mental State Examination (MMSE)
Di Amerika Serikat, Kanada,
dan Inggris, psikogeriatris menggunakan the
Mini Mental State Examination (MMSE) sebagai instrumen untuk menilai
kognitif pasien. Tes ini meski paling sering digunakan, memiliki kelemahan pada
waktu yang dibutuhkan untuk tes tersebut.
MMSE menggunakan instrumen penilaian 30 poin. Instrumen ini pertama
dikembangkan sebagai skrining kelainan kognitif untuk membedakan antara
kelainan organik dan non organik (misalnya schizophrenia).
Pada saat ini, MMSE merupakan
metode untuk skrining dan monitoring perkembangan demensia dan delirium. MMSE
berkorelasi baik dengan skor tes skrining kognitif yang lain. Waktu yang
dibutuhkan rata-rata 8 menit dengan rentang 4-21 menit. Skor pada MMSE bisa
bias karena pengaruh tingkat pendidikan, perbedaan bahasa, dan hambatan budaya.
Pasien dengan tingkat pendidikan lebih rendah dapat keliru diklasifikasikan
sebagai gila, dan pada pasien dengan tingkat pendidikan tinggi bisa tidak
terdeteksi. Skor MMSE umumnya menurun dengan bertambahnya usia. Beberapa
penulis menyarankan untuk menurunkan batas pada usia lanjut, yaitu <20 adanya="" angalos="" dapat="" demensia="" disebabkan="" indikasi="" ini="" kelainan.="" kelompok="" lanjut="" meskipun="" o:p="" pada="" parker="" prevalensi="" rata-rata="" rendah="" skor="" tingginya="" untuk="" usia="" yang="">20>
Skor 30 tidak selalu berarti
fungsi kognitif normal dan skor nol bukan berarti tidak ada kognisi secara
absolut. Tes ini tidak punya kapasitas mencukupi untuk tes fungsi frontal/
eksekutif atau fungsi visuospasial (khususnya parietal kanan). Tugas segilima
pada MMSE memerintahkan pasien menirukan gambar dan tidak menilai kemampuan
merencanakan. Sebagai akibatnya tes ini mempunyai keterbatasan untuk mendeteksi
demensia non Alzheimer, seperti kelainan kognitif pasca stroke, dan demensia
frontotemporal atau subkortikal pada fase awal (Tangalos,1996).
Untuk mengurangi bias atau
kelemahan MMSE, dikembangkan beberapa tes lain seperti Standardized Mini-Mental State Examination (SMMSE) diperkenalkan
sebagai upaya menurunkan variasi skor inter rater (Parker,2004). The Abbreviated Mental Test (AMT), Mini-Cog
(dapat dikerjakan dalam 3 menit) dan
Six-Item Screener (SIS) (mempunyai 6
pertanyaan) sehingga lebih memungkinkan penggunaan tes ini secara rutin pada
pasien usia lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD. Clock
Drawing Test (CDT) mempunyai keuntungan relatif terhindar dari bias karena
faktor tingkat intelektual, bahasa, dan budaya. The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) digunakan
untuk menguji memori kejadian yang baru terjadi dan orientasi. Six-Item Cognitive Impairment Test
(6CIT) menggunakan beban skor yang berbeda pada masing-masing item (Holmes,1996;
Tangalos,1996; Swain,1999).
:
|
Nama
Pewawancara
|
:
|
|||||
Umur
Responden
|
:
|
Tanggal
Wawancara
|
:
|
||||
Pendidikan
|
:
|
Jam
mulai
|
:
|
||||
MINI MENTAL STATE
EXAMINATION (MMSE)
|
|||||||
Nilai Maksimum
|
Nilai Responden
|
||||||
ORIENTASI
|
|||||||
5
|
Sekarang
(hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
|
||||||
5
|
Sekarang
kita berada di mana?
|
||||||
(Nama
rumah sakit atau instansi)
|
|||||||
(Instansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten,
propinsi)
|
|||||||
REGISTRASI
|
|||||||
3
|
Pewawancara
menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya: (bola, kursi, sepatu). Satu detik
untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang ketiga nama benda
tersebut.
|
||||||
Berilah
nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah ulangi penyebutan
ketiga nama tersebut sampai responden dapat mengatakannya dengan benar:
|
|||||||
Hitunglah
jumlah percobaan dan catatlah : ______ kali
|
|||||||
ATENSI DAN
KALKULASI
|
|||||||
5
|
Hitunglah
berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5
kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain ejaan kata dengan
|
||||||
Satu
(1) nilai untuk setiap jawaban benar.
|
|||||||
MENGINGAT
|
|||||||
3
|
Tanyakan
kembali nama ketiga benda yang telah disebut di atas.
|
||||||
Berikan nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar
|
|||||||
BAHASA
|
|||||||
9
|
a. Apakah nama benda ini? Perlihatkan pensil
dan arloji
|
(2
nilai)
|
|||||
b. Ulangi kalimat berikut :"JIKA TIDAK, DAN ATAU
TAPI"
|
(1
nilai)
|
||||||
c.
Laksanakan 3 perintah ini :
|
|||||||
Peganglah
selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan
dan letakkan di lantai
|
(3
nilai)
|
||||||
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut
|
|||||||
"PEJAMKAN
MATA ANDA"
|
(1
nilai)
|
||||||
e.
Tulislah sebuah kalimat !
|
(1
nilai)
|
||||||
f.
Tirulah gambar ini !
|
(1
nilai)
|
||||||
Jam
selesai
|
:
|
||||||
Tempat
wawancara
|
:
|
||||||
Gambar 1. Mini Mental State Examination (MMSE) (Setiati,2007).
Teknik pemakaian dan penilaian MMSE
MMSE menggunakan instrumen berbentuk berbagai pertanyaan.
Daftar pertanyaan terdapat pada gambar 1. Cara penggunaannya adalah sebagai
berikut (Folstein, 1975; Setiati,2007):
Penilaian
Orientasi (10 poin)
Pemeriksa menanyakan tanggal, kemudian pertanyaan dapat lebih spesifik
jika ada bagian yang lupa (misalnya :”Dapatkah anda juga memberitahukan
sekarang musim apa?”). Tiap pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu) poin.
Pertanyaan kemudian diganti dengan ,”Dapatkah anda menyebutkan nama rumah sakit
ini (kota ,
kabupaten, dll) ?”. Tiap pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu poin).
Penilaian
Registrasi (3 poin).
Pemeriksa menyebutkan 3 nama benda yang tidak berhubungan dengan jelas
dan lambat. Setelah itu pasien diperintahkan untuk mengulanginya. Jumlah benda
yang dapat disebutkan pasien pada kesempatan pertama dicatat dan diberikan skor
(0-3). Jika pasien tidak dapat menyebutkan ketiga nama benda tersebut pada
kesempatan pertama, lanjutkan dengan mengucapkan namanya sampai pasien dapat
mengulang semuanya, sampai 6 kali percobaan.
Catat jumlah percobaan yang digunakan pasien untuk mempelajari kata-kata
tersebut. Jika pasien tetap tidak dapat mengulangi ketiga kata tersebut,
berarti pemeriksa harus menguji ingatan pasien tersebut. Setelah menyelesaikan
tugas tersebut, pemeriksa memberitahukan kepada pasien agar mengingat ketiga
kata tersebut, karena akan ditanyakan sebentar lagi.
Perhatian dan kalkulasi (5poin)
Pasien diperintahkan untuk menghitung mundur dari 100 dengan selisih 7.
hentikan setelah 5 angka. Skor berdasarkan jumlah angka yang benar. Jika pasien
tidak dapat atau tidak dapat mengerjakan tugas tersebut, maka dapat digantikan
dengan mengeja kata ”DUNIA” dari
belakang. Cara menilainya adalah menghitung kata yang benar. Contohnya jika
menjawab “AINUD” maka diberi nilai 5,
tetapi jika menjawab “AINDU” diberi
nilai 3.
Ingatan (3poin)
Pasien diperintahkan untuk mengucapkan 3 kata yang diberikan sebelumnya
kepada pasien dan disuruh mengingatnya. Pemberian skor dihitung berdasarkan
jumlah jawaban yang benar.
Bahasa dan praktek (9 poin)
Penamaan : Pasien ditunjukkan arloji dan diminta menyebutkannya.
Ulangi dengan menggunakan pensil. Skor 1 poin setiap nama benda yang benar
(0-2).
Repetisi (pengulangan) : Pasien diminta untuk mengulangi sebuah
kalimat yang diucapkan oleh penguji pada hanya sekali kesempatan. Skor 0 atau 1.
Perintah 3 tahap : pasien diberikan selembar kertas
kosong, dan diperintahkan, ” Taruh kertas ini pada tangan kanan anda, lipat
menjadi 2 bagian, dan taruh di lantai”. Skor 1 poin diberikan pada setiap
perintah yang dapat dikerjakan dengan baik (0-3).
Membaca : Pasien diberikan kertas yang
bertuliskan ”Tutup mata anda” (hurufnya harus cukup besar dan terbaca jelas
oleh pasien. Pasien diminta untuk membaca dan melakukan apa yang tertulis. Skor
1 diberikan jika pasien dapat melakukan apa yang diperintahkan. Tes ini bukan
penilaian memori, sehingga penguji dapat mendorong pasien dengan mengatakan
”silakan melakukan apa yang tertulis” setelah pasien membaca kalimat tersebut.
Menulis : Pasien diberikan kertas kosong dan
diminta menuliskan suatu kalimat. Jangan
mendikte kalimat tersebut, biarkan pasien menulis spontan. Kalimat yang ditulis
harus mengandung subjek, kata kerja dan membentuk suatu kalimat. Tata bahasa
dan tanda baca dapat diabaikan.
Menirukan : pasien ditunjukkan gambar segilima yang
berpotongan, dan diminta untuk menggambarnya semirip mungkin. Kesepuluh sudut
harus ada dan ada 2 sudut yang berpotongan unruk mendapatkan skor 1 poin. Tremor dan rotasi dapat diabaikan.
Interpretasi penilaian MMSE
Setelah
dilakukan penilaian, skor dijumlahkan dan didapatkan hasil akhir. Hasil yang
didapatkan diintrepetasikan sebagai dasar diagnosis. Ada beberapa interpretasi yang bisa digunakan.
Metode yang pertama hanya menggunakan single cutoff, yaitu abnormalitas
fungsi kognitif jika skor <24 .="" lain="" lang="SV" menggunakan="" metode="" range.="" span="">Jika skor <21 akan="" demensia="" jika="" kemungkinan="" meningkat="" sedangkan="" skor="">25 kecil kemungkinan demensia. 21>24>
Interpretasi lainnya memperhitungkan tingkat
pendidikan pasien. Pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah SMP)
ambang batas abnormal diturunkan menjadi 21, pada tingkat pendidikan setingkat
SMA abnormal jika skor <23 abnormal="" jika="" o:p="" pada="" perguruan="" skor="" tinggi="" tingkat="">23>
Berat ringannya gangguan kognitif dapat
diperkirakan dengan MMSE. Skor 24-30 menunjukkan tidak didapatkan kelainan
kognitif. Skor 18-23 menunjukkan kelainan kognitif ringan. Skor 0-17
menunjukkan kelainan kognitif yang berat (Folstein, 1975).
Tabel 1. Interpretasi MMSE (Folstein,
1975).
Metode
|
Skor
|
Interpretasi
|
Single Cutoff
|
<24 p="">
24>
|
Abnormal
|
Range
|
<21 p="">
21>
>25
|
Kemungkinan
demesia lebih besar
Kemungkinan
demesia lebih kecil
|
Pendidikan
|
21
<23 p="">
23>
<24 p="">
24>
|
Abnormal
pada tingkat pendidikan kelas 2 SMP
Abnormal
pada tingkat pendidikan SMA
Abnormal
pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi
|
Keparahan
|
24-30
18-23
0-17
|
Tidak
ada kelainan kognitif
Kelainan
kognitif ringan
Kelainan
kognitif berat
|
Abbreviated
Mental Test Score (AMT)
Perkiraan
penggunaan waktu pelaksanaan harus diperhatikan, karena waktu penilaian lebih
panjang pada penderita dengan kelainan kognitif daripada yang tidak. Oleh sebab
itu, dikembangkan beberapa instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada
penderita lanjut usia dengan waktu yang lebih pendek daripada MMSE. Salah satu
instrumen yang dikembangkan adalah Abbreviated
Mental Test Score (AMT) (MacKenzie,1996; Tangalos,1996). AMT mempunyai
sensitifitas dan spesivisitas yang lebih rendah dalam mendeteksi adanya
kelainan kognitif daripada MMSE. AMT tampaknya
kurang menyenangkan, meskipun lebih mudah dan cepat untuk digunakan.
(Tombaugh,1992; MacKenzie,1996). Interpretasi skor pada AMT adalah jika skor
AMT <6 adanya="" demensia.="" menunjukkan="" o:p="">6>
The Abbreviated Mental Test (AMT) lebih
singkat, terdiri dari 10 soal yang digunakan untuk skrining kelainan. Tes ini terdiri dari 10 pertanyaan yang diseleksi berdasarkan nilai
diskriminatif dari Mental Test Score yang lebih panjang. AMT termasuk
komponen-komponen yang mengikuti memori baru dan lama, atensi, dan orientasi.
Skor <8 batas="" beratnya="" berhubungan="" bermakna.="" cepat="" defisit="" delirium.="" dengan="" dibandingkan="" ini="" kognisi="" kognitif="" lebih="" mampu="" mendeteksi="" menunjukkan="" merupakan="" operatif="" pada="" panjang.="" pasca="" penilaian="" penyakit="" perkembangan="" perubahan="" secara="" span="" tes="" yang="">Pada pasien usia lanjut, tes ini dapat dikerjakan dalam 3 menit. 8>
Terdapat versi 4 pertanyaan
AMT (AMT4), dengan pertanyaan tentang umur, tanggal lahir, tempat, dan tahun
saja. Tes ini lebih cepat, lebih mudah digunakan, dan lebih mudah diingat oleh
pemeriksa. Sehingga lebih meningkatkan kemungkinan penggunaan tes ini secara
rutin pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD.
SETIAP JAWABAN BENAR MENDAPAT SKOR
SATU POIN
|
|
1. Umur
|
|
2. Waktu (jam)
|
|
3. Alamat lengkap (pertanyaan diulang saat akhir wawancara)
|
|
4. Tahun
|
|
5. Nama rumah sakit, institusi atau alamat rumah (tergantung tempat
wawancara)
|
|
6. Mengenal 2 orang (misalnya dokter, perawat, istri, dll)
|
|
7. Tanggal lahir
|
|
8. Tahun Perang Dunia I mulai
|
|
9. Nama raja sekarang
|
|
10. Menghitung mundur dari 20 ke 1
|
|
Total skor
|
|
SKOR KURANG DARI 6 MENUNJUKKAN
ADANYA DEMENSIA
|
Gambar 2. Daftar pertanyaan pada AMT
MMSE versi yang diperluas
Keterbatasan pada penilaian
kognitif pada MMSE, membuat beberapa peneliti membuatnya lebih lengkap. Beberapa
peneliti menganjurkan untuk mengkombinasikan dengan CDT dan MMSE untuk skrining
demensia yang ditunjukkan dengan
instrumen berikut.
Addenbrooke’s Cognitive Examination (ACE).
ACE mempunyai skala 100 poin yang awalnya dikembangkan
untuk membedakan AD dan frontotemporal dementia (FTD). Instrumen ini mempunyai
komponen lebih detil untuk memeriksa memori dan fungsi frontal/ eksekutif. Tes
ini menggunakan rangkaian gambar. Skor <87 ace="" ad="" adanya="" baik="" begitu="" bermakna.="" dan="" daripada="" demensia.="" demensia="" depan.="" di="" dilaporkan="" diragukan="" ftd="" indikasi="" individu="" ini="" kelainan="" kemampuan="" klinis="" lebih="" masa="" masih="" membedakan="" mempunyai="" mendeteksi="" merupakan="" meskipun="" mmse="" othlind="" p="" pada="" perkembangan="" prediksi="" rendah="" sindroma="" skor="" subkortikal="" tanda="" tes="" tidak="" untuk="" yang="">87>
Modified Mini Mental Status Examination
(3MS)
3MS merupakan pengembangan MMSE, dengan penambahan kelancaran verbal, dan
pengujian memori, yang membuat skor tidak 100. tes ini mempunyai sensitivitas
88% dan spesifisitas 90% untuk mendeteksi demensia pada sampel dengan umur >
65 tahun, dan menggunakan batas <78 .="" 3ms="" 77="" 86="" 87="" besar="" dan="" dengan="" dibandingkan="" lebih="" mempunyai="" mmse="" ombaugh="" p="" pada="" saat="" sampel="" sensitivitas="" spesifisitas="" yang="">78>
Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI)
Pada CASI terdapat pertanyaan
dari MMSE dan 3MS. Tes ini juga mempunyai skor tidak sampai 100, dan
diperkirakan selesai dalam 15-20 menit. CASI mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang sedikit lebih baik pada populasi terbatas jika dibandingkan
dengan MMSE yang lebih pendek (Tombaugh,1992).
Cambridge Cognitive
Examination (CAMCOG)
The Cambridge Mental Disorders of the Elderly Examination (CAMDEX) tersusun pada waktu penilaian
kognitif pada usia lanjut, termasuk riwayat yang diambil dari penderita atau
informan, pemeriksaan, dan penilaian status mental (CAMCOG). Pemeriksaan
lengkap membutuhkan waktu sekitar 80 menit. Secara keseluruhan, CAMDEX tidak
hanya mendeteksi masalah yang ada, tetapi juga mengidentifikasi penyebab dan
derajat keparahannya (Athey,2005)..
Pada CAMCOG terdapat komponen MMSE, juga terdapat tes
tambahan untuk aspek kognitif (kegiatan sehari-hari, pemikiran abstrak, dan
persepsi) total skor diatas 107, dengan batas <80 30="" amt="" atau="" baik="" camcog="" dan="" demensia="" dengan="" dibandingkan="" didiagnosis="" diperkirakan="" kelainan="" kognitif.="" kognitif="" lebih="" membutuhkan="" mempunyai="" mendeteksi="" menit="" menyelesaikannya.="" mmse.="" pada="" pasien="" sampel="" sensitivitas="" span="" spesifitas="" suspek="" terseleksi="" untuk="" waktu="" yang="">Tes ini mempunyai sensitivitas 92% dan spesifisitas 96% untuk
mendeteksi kelainan mental organik (MMSE 94% dan 85% pada sampel yang sama (Athey,2005).
80>
Middlesex Elderly Assessment
Memory Score (MEAMS)
MEAMS saat ini lebih sering digunakan oleh seorang terapis daripada
dokter. Skornya mencapai 47, semakin rendah skor menunjukkan kelainan kognitif
yang makin berat. MMSE mempunyai komponen yang dirancang untuk menilai fungsi
lobus frontalis dan parietal kanan (kelancaran verbal, motorik dan persepsi
huruf yang terfragmentasi). Tes ini membutuhkan kartu gambar serial khusus.
MEAMS dibandingkan dengan MMSE pada beberapa pasien psikiatri dengan rentang diagnosa yang berbeda. Pada
umumnya kedua tes ini sama baiknya, tetapi MEAMS mempunyai keunggulan pada
kemampuan deteksi non demensia, dan isolated cognitive impairments
(Rothlind,1993).
Derajat keparahan gangguan, dan pemantauan perkembangan penyakit
Beberapa skala penilaian memberikan nilai numerik derajat keparahan yang
berguna bagi penilaian perkembangan penyakit daripada kesimpulan dengan skala
biner 'ada' atau 'tidak ada'. Sehingga mempengaruhi pemilihan tes. Pada AD
biasanya terjadi penurunan MMSE tahunan 3-4 poin, sehingga menjadikan MMSE
dapat digunakan untuk memantau perkembangan penyakit dalam kondisi tertentu.
MMSE juga telah diusulkan sebagai alat untuk menentukan tingkat keparahan
gangguan kognitif. Skor antara 23 - 18 digolongkan ringan, skor < 17
digolongkan berat. Skala kualitatif yang lebih panjang dapat memberikan
kepekaan lebih besar untuk mendeteksi perubahan kognitif. Namun, terjadinya
kerusakan fungsional tampaknya lebih relevan dengan pasien dan perawat mereka
daripada skor numerik sederhana. Kemampuan menggunakan alat sehari-hari,
misalnya penggunaan telepon, alat transportasi, mengambil obat sendiri dan
penanganan keuangan, berkorelasi baik dengan kerusakan kognitif. Meskipun pada
orang dengan ko-morbiditas, mungkin sulit untuk membedakan secara khusus efek
penurunan fungsi kognitif (Graham,1997).
Kesimpulan
Penilaian fungsi kognitif pada lanjut usia penting karena dengan
bertambahnya umur, terjadi perubahan pada otak yang memicu perubahan proses
berpikir dan perilaku. Perbedaan tersebut mempunyai bentuk yang berbeda-beda
pada tahap awal proses, yang dipengaruhi oleh fungsi sosial dan aktifitas
pekerjaan.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah The Mini Mental State Examination (MMSE) dan Abbreviated Mental Test Score (AMT). MMSE menilai orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi,
ingatan, bahasa dan praktek, dan menirukan. Interpretasi penilaian MMSE adalah
kelainan kognitif didapatkan pada skor < 24. AMT merupakan instrumen untuk
menilai fungsi kognitif pada lanjut usia dengan waktu yang lebih singkat dan
sederhana daripada MMSE. Sensitifitas dan spesifisitas AMT lebih rendah
daripada MMSE. AMT menilai memori baru dan lama, atensi, dan orientasi. Skor
<8 adanya="" bermakna.="" defisit="" kognitif="" menunjukkan="" o:p="" yang="">8>