b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

Kamis, 21 November 2013

Lima Alasan Menonton “The Hunger Games: Catching Fire

thumbnail Title: Lima Alasan Menonton “The Hunger Games: Catching Fire
Posted by:Unknown
Published :2013-11-21T07:12:00-08:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
Lima Alasan Menonton “The Hunger Games: Catching Fire
Di saat film-film adaptasi novel young adult berguguran di pasaran, “The Hunger Games” justru menjadi contoh utama franchise film remaja yang sukses tanpa membelah penontonnya dalam dua kategori kontras: suka atau benci.

Bila dosa utama dari “The Hunger Games” (2012) adalah membuat penonton yang tak membaca bukunya bosan, “The Hunger Games: Catching Fire” (2013) berusaha untuk menebus kesalahan ini dengan membuat kisah lanjutannya menjadi seri paling emosional dengan pertaruhan yang tinggi.

Kalau Anda sudah menonton “The Hunger Games” dan suka dengan film ini, tentu tak ada alasan untuk melewatkan sekuelnya. Tetapi, apa saja faktor yang membuat “The Hunger Games: Catching Fire” menjadi film yang layak diunggulkan di minggu ini? Berikut adalah lima alasan menonton film “The Hunger Games: Catching Fire”:

1. Jennifer Lawrence

Jennifer Lawrence adalah seorang bintang langka yang karirnya mampu melonjak tajam tanpa latar belakang pendidikan akting maupun seni. Sejak mencuri perhatian dalam “Winter’s Bone” (2010) yang menganugerahinya nominasi Academy Awards pertama, Lawrence telah berulang kali membuktikan bahwa dirinya sangat adaptif dan mampu bersinar, baik dalam drama serius maupun dalam film blockbuster.

Dalam “The Hunger Games”, Lawrence membuat sosok Katniss Everdeen sangat lekat dengan dirinya. Dalam sekuelnya, Lawrence lagi-lagi menunjukkan kualitas akting yang telah membuatnya memenangkan piala Oscar dalam kategori aktris pemeran utama terbaik di awal tahun ini. Lawrence mampu menunjukkan perubahan drastis yang terjadi pada Katniss selepas memenangkan Hunger Games ke-74. Meski menderita trauma mendalam, Katniss kini tak hanya memikirkan keselamatannya sendiri dan mulai mengalami pendewasaan diri secara pribadi maupun sosial, karena para penduduk dari distrik lain di Panem mulai mempertimbangkan pemberontakan pada Capitol akibat terinspirasi oleh pembangkangannya.

Tanpa mimik berlebihan dan memamerkan emosi yang ekstrem, Lawrence mampu merengkuh semua sisi dari Katniss dan membawanya maju ke dalam permainan politik yang lebih berbahaya. Rasanya, tak ada aktris muda lain yang mampu memerankan Katniss dengan brilian seperti Jennifer Lawrence. 

Bukan hanya nasib Panem yang berada di pundak Katniss, nasib franchise “The Hunger Games” pun berada di pundak Lawrence. Lawrence telah sukses mengangkat seri film ini menjadi salah satu franchise yang paling ditunggu kelanjutannya.

2. Francis Lawrence

“The Hunger Games” banyak dikritik karena kekurangan-kekurangannya dalam bidang teknis, terutama karena penggunaan shaky cam yang berlebihan dan memecah konsentrasi saat menonton. Untungnya, “The Hunger Games: Catching Fire” terlihat sebagai film yang berada di bawah pengarahan sutradara yang lebih meyakinkan. Melalui film-film seperti “Constantine” (2005), “I Am Legend” (2007), serta “Water for Elephants” (2011), Francis Lawrence sudah menunjukkan bahwa ia mampu untuk mengolah aksi dan drama menjadi sebuah tontonan yang lumayan. Hasilnya, penonton dapat melihat sendiri bahwa Lawrence lebih piawai mengarahkan sisi aksi dari kisah ini daripada Gary Ross yang kekuatan utamanya justru ada di naskah.

Lawrence sendiri tak perlu berkutat dengan naskah. Ia menyerahkan cerita di tangan dua penulis naskah pemenang Academy Awards, Simon Beaufoy serta Michael Arndt. Dengan konsentrasi yang lebih fokus pada penyutradaraan, Lawrence pun punya lebih banyak tenaga untuk memikirkan bagaimana ia dapat membuat “The Hunger Games: Catching Fire” terasa tetap menggigit tanpa terlihat repetitif. Karena, bagi mereka yang sudah tahu ceritanya, “The Hunger Games” serta “Catching Fire” sama-sama memiliki alur yang sejenis. Untungnya, meski ada kemiripan, “Catching Fire” punya kelebihan-kelebihan tersendiri yang membuatnya cukup dapat dinikmati.

3. Panem

Meski film “The Hunger Games” milik Francis Lawrence terasa lebih baik, tetapi Gary Ross telah meninggalkan warisan penting dengan film pendahulunya. Pertama, casting Jennifer Lawrence sebagai Katniss Everdeen, Donald Sutherland sebagai Presiden Snow, dan Woody Harrelson sebagai Haymitch Abernathy merupakan pilihan yang sangat tepat. Kedua, visualisasi District 12 sebagai daerah pertambangan yang miskin dan terasa nyata membuat kemewahan Capitol terasa lebih pahit dan mencengangkan.

Dengan durasi 146 menit, “The Hunger Games: Catching Fire” akan terasa sangat panjang untuk sebagian orang. Namun, film ini membayarnya dengan menampilkan studi karakter yang lebih kaya. Bila Anda belum paham kenapa Katniss lebih memilih Peeta Mellark daripada Gale Hawthorne sebagai pendampingnya, “Catching Fire” akan menampilkan transisi ini dengan lebih jelas tanpa dipaksakan. Josh Hutcherson sendiri diberi ruang yang luas untuk menguatkan sosok Peeta sebagai karakter simpatik yang layak bersanding dengan Katniss. Kehadiran Presiden Snow dan Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman) juga menampilkan dialog-dialog yang menarik dan menjadi bagian yang cukup menonjol dalam film.

Penonton juga akan kembali diajak memasuki distrik-distrik Panem dan Capitol yang terlihat lebih mewah, dan di saat yang sama, makin memuakkan. Kekuatan visual dari penyutradaraan Francis Lawrence membuat “Catching Fire” terlihat semarak dengan warna dan penuh dengan detail-detail kecil yang menarik. Dalam latar ini, Effie Trinket (Elizabeth Banks) pun tidak lagi terasa sebagai karakter yang asing, dan justru cukup menyegarkan suasana.

4. Seri Novel “The Hunger Games”

Walaupun punya percabangan plot mengenai kisah cinta antara Katniss, Peeta, dan Gale, seri novel “The Hunger Games” tidak berfokus pada itu. Justru, bila dipikirkan dengan terbuka, “The Hunger Games” merupakan kisah yang unik karena bercerita mengenai seorang pahlawan wanita independen yang harus menghadapi isu-isu seperti pemerintahan diktator, kesenjangan sosial, lenyapnya hak-hak asasi manusia, hidup di bawah sorotan media, dan yang paling mendasar, harus menyaksikan anak-anak di bawah umur saling bunuh dalam sebuah arena pertarungan hidup mati yang disponsori negara.

Supaya terlihat menarik bagi demografi yang disasarnya, “The Hunger Games: Catching Fire” memang harus menjual sebuah kisah cinta. Namun, Katniss berdiri sebagai seorang wanita tanpa motif yang digerakkan oleh plot utama yang berpusat pada seorang tokoh pria. Katniss merupakan sosok independen yang memiliki pemikirannya sendiri, tidak terlihat lemah hanya karena ia merupakan seorang wanita, serta di saat yang sama berhasil menghindar dari jebakan karakter klise yang menempatkan pahlawan-pahlawan wanita menjadi sosok dengan kemampuan super.

Dengan kehadiran “The Hunger Games” sebagai buku dan film laris, setidaknya para remaja dapat menemukan idola baru dalam sosok seorang wanita kuat yang tidak bergantung pada hal-hal yang mustahil ditiru – panahan lebih mudah dipelajari daripada sihir ataupun kemampuan supernatural lain. Selain itu, meneruskan tren dengan kesuksesan “The Heat” dan “Gravity”, rasanya menyenangkan untuk melihat bahwa bioskop tidak hanya dipenuhi oleh jagoan laki-laki saja.

5. Dolby Atmos

Idealnya, format paling pas untuk menyaksikan “The Hunger Games: Catching Fire” adalah di layar IMAX. Dengan footage sepanjang 50 menit yang disyut dengan kamera IMAX, tentu format ini akan menawarkan sesuatu yang tidak bisa diperoleh di bioskop dengan layar biasa. Namun, bila Anda ingin mencoba sesuatu yang baru, mulai minggu ini Anda sudah dapat mencoba menonton film dengan Dolby Atmos.

Dolby Atmos sendiri merupakan sistem audio terbaru Dolby yang sudah digunakan di 33 negara. Bila Anda ingin mengujinya, “The Hunger Games: Catching Fire” merupakan pilihan film yang tepat, karena sampai akhir tahun ini, selain film tesebut, hanya “Frozen”, “The Secret Life of Walter Mitty”, dan “The Hobbit: The Desolation of Smaug” saja yang akan tersedia dalam format ini. Meski demikian, Dolby Atmos baru tersedia di Cinema XXI Epicentrum, Jakarta, sehingga tidak semua orang dapat mencobanya dalam waktu dekat.

| bisnis online |

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar