b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

Minggu, 20 Oktober 2013

EPILEPSI

thumbnail Title: EPILEPSI
Posted by:Unknown
Published :2013-10-20T06:13:00-07:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
EPILEPSI
Kejang adalah pelepasan aliran elektrik abnormal dan tak terregulasi didalam substansia grisea otak dimana aliran mendadak ini mengganggu fungsi normal otak. Serangan kejang bersifat mendadak disertai perubahan tingkah laku, kesadaran, sensasi atau fungsi otonomik (Robert, 2010).
Dalam mengevaluasi kejang maka harus dibedakan apakah kejang diprovokasi atau tidak. Kejang yang diprovokasi disebut juga kejang non-epileptik sedangkan kejang yang terjadi tanpa provokasi disebut kejang epileptik (Schwartz, 1996). Pembedaan mekanisme epileptik dan non-epileptik merupakan langkah pertama ketika menilai seorang pasien yang mengalami kejang.
            Perbedaan kejang epileptik dan nonepileptik adalah (Robert, 2010):
Kejang epileptik:
·         Sering tetapi tidak selalu tercatat pada elektroensefalogram (EEG)
·         Kelainan otak kronis yang dicirikan dengan kejang tanpa provokasi rekuren ( ≥ 2).
·         Epilepsi sering idiopatik tetapi berbagai kelaianan otak lain seperti malformasi, stroke dan tumor dapat menyebabkan epilepsi simtomatik.
·         Kejadian biasanya stereotipik
·         Sering memberikan respon terhadap obat-obat antikonvulsan
Kejang nonepileptik
·         Tidak ada kelainan pada EEG
·         Gambaran bervariasi dari satu episode ke episode lain (tidak stereotipik)
·         Kejang diprovokasi oleh kelaianan atau stressor sementara (contoh: gangguan metabolik, infeksi susunan saraf pusat, kelaianan kardiovaskular, keracunan obat, demam)
·         Kejadian kejang dapat ditimbulkan kembali pada beberapa kasus
Pada kasus By ND kejang yang terjadi dari anamnesa mengarah kepada kecurigaan kejang demam. Dari pemeriksaan ketika di Instalasi Gawat Darurat suhu pasien 36 ° C yang tidak menunjukkan adanya demam. Ketika perawatan pun pasien kejang lagi tanpa provokasi sampai 3 kali di IGD. Hal ini membuat kecurigaan akan adanya kejang epileptik menguat. Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernah kejang tanpa panas 3 bulan yang lalu sebanyak 3 kali.
    Penyebab kejang bervariasi menurut umur terjadinya. Sebelum umur 2 tahun, penyebab kejang tersering adalah defek perkembangan, jejas saat persalinan dan gangguan metabolik. Umur 2 sampai 14 tahun penyebab kejang tersering adalah kelaianan kejang idiopatik. Pada dewasa penyebab kejang tersering antara lain trauma cerebral, gejala putus alkohol, tumor, stroke dan idiopatik (50%). Pada geriatri penyebab kejang tersering ialah tumor dan stroke (Robert, 2010).
            Kejang diklasifikasikan menjadi kejang generalisata (umum) atau kejang parsial. Pada kejang generalisata aliran elektrik yang menyimpang secara difus mempengaruhi kedua hemisperium dan korteks cerebri saat onset kejang, kehilangan kesadaran biasanya terjadi. kejang generalisata diakibatkan paling sering oleh gangguan metabolik dan terkadang kelainan genetik. Yang termasuk kejang generalisata antara lain spasme infantil, kejang absans, kejang tonik-klonik, kejang atonik dan kejang myoklonik (Kliegman, 2007).
Kejang parsial disebabkan oleh kelebihan cetusan neuronal pada salah satu korteks serebri dan paling sering diakibatkan oleh abnormalitas struktural. Kejang parsial dapat berupa kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) ataupun kejang parsial kompleks (dengan penurunan kesadaran).
Kejang parsial dapat diikuti dengan kejang generalisata dimana terjadi kehilangan kesadaran. Kejang generalisata sekunder ini terjadi ketika kejang parsial menyebar dan mengaktifkan cerebrum bilateral. Aktifasi cerebrum ini dapat begitu cepatnya hingga kejang parsial inisial tidak terlihat dalam evaluasi klinis.
By. ND dari riwayat kejang didapatkan kejang dengan kehilangan kesadaran sehingga mengarah ketipe kejang generalisata. Ibu pasien mencontohkan kejangnya dengan memfleksi dan mengekstensikan eksteremitas atasnya. Dari informasi ini ditarik kesimpulan bahwa tipe kejang pada pasien By. ND adalah kejang generalisata kesan tonik-klonik.
Pemeriksaan fisik dapat memberikan petunjuk terhadap kausa dari kejang yang simtomatik. Diantaranya:
Temuan
Kemungkinan Penyebab
Demam dan kaku kuduk
Meningitis
Perdarahan subarachnoid
Meningoenchepalitis
Papilledema
Peningkatan tekanan intrakranial
Defek neurologis fokal
Abnormalitas struktural (stroke, tumor)
Paralisis postiktal
Iritabilitas otot generalisata
Keracunan obat
Sindrom withdrawal
Kelaianan metabolik tertentu
Lesi kulit (noda cafe-au-lait, makula hipomelanotik, plak shagreen)
Kelaianan neurokutaneus (neurofibromatosis, sklerosis tuberous)

    Dari pemeriksaan fisik, by. ND tidak menunjukkan adanya defek neurologis total, demam ataupun iritabilitas terhadap rangsang yang dapat menyingkirkan penyebab organik berupa meningitis dan abnormalitas struktural secara klinis. Ubun-ubun besar pasien juga tidak menonjol sehingga kecurigaan terhadap penengkatan tekanan intrakranial dapat disingkirkan. Jika penyebab kejang idiopatik maka pemeriksaan fisik tidak khas, hal ini sesuai dengan yang didapatkan pada evaluasi klinis by. ND.
Untuk pemeriksaan yang lebih lanjut diperlukan CT-scan kepala untuk menyingkirkan kelainan struktural di otak secara pasti. Karena kecurigaan mengarah ke kejang epileptik maka elektroensefalogram merupakan hal yang penting dalam evaluasi namun harus selalu diingat bahwa EEG yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosa epilepsi (Rudolph, 2003).
Diagnosis epilepsi harus dibuat secara klinis (Robert, 2010). Dengan mempertimbangkan adanya riwayat kejang tanpa provokasi sebanyak 3 kali dan dari observasi pasien kembali kejang tanpa dipicu panas ataupun penyebab organik yang tampak maka diagnosis epilepsi dapat ditegakkan pada pasien by. ND.
  Tatalaksana epilepsi secara inisial dimuali dengan pengganaan obat-obat antiepileptik. Tujuan pertama dari penggunaan obat-obat antiepileptik adalah menemukan secepatnya obat antiepileptik yang memberikan kontrol kejang terbaik dengan tolerabilitas dan keamanan maksimal (Rudolph, 2003). Dalam memberikan obat antiepileptik karakteristik personal dari pasien seperti gender, umur, kondisi komorbid, obat yang sedang dikonsumsi, dan gaya hidup harus dipertimbangkan. Pada konteks klinis pemberian terapi farmakologis untuk mengontrol epilepsi baru diberikan jika terjadi kejang tanpa provokasi ≥ 2 kali dalam jangka waktu 6 bulan (Fun, 2010). Melihat kondisi klinis kejang pada by. ND maka terapi farmakologis diberikan.
Pilihan pertama pengobatan epilepsi dengan tipe kejang tonik-klonik generalisata adalah asam valproat, lamotrigine, levaricetam, atau topiramate. Karbamazepin, fenitoin, zonisamide dapat dipertimbangkan untuk pilihan yang lebih lanjut. Terapi inisial epilepsi harus dimulai dengan monoterapi (Rudolph, 2003). Sebelum jenis obat diganti atau menambahkan jenis obat lain, dosis dari terapi inisial dinaikkan dulu secara perlahan sampai kejang terkontrol atau dosis maksimal yang diperbolehkan pada pasien tercapai.
Untuk terapi farmakologis pada by. ND dipilih asam valproat dengan dosis inisial 10 mg/kgBB/24jam per oral yang diberikan 1 kali sehari (Fun, 2010). Sediaan yang diberikan berupa asam valproat dalam benuk sirup 250mg/5ml sehingga pemberiannya ialah 1 x ⅓ cth per 24 jam.
Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan harus didiskusikan dengan orang tua atau penanggung jawab pasien. Pengobatan dapat dilanjutkan lebih lama jika ada resiko rekurensi begitu obat dihentikan. Faktor resiko terjadinya rekurensi ialah adanya etiologi kejang simptomatik terpisah, onset kejang pada umur lebih dari 12 tahun, riwayat epilepsi pada keluarga, gambaran perlambatan pada EEG, riwayat kejang demam kompleks dan IQ yang kurang dari 50 (Rudolph, 2003).
Diare akut diartikan sebagai buang air besar dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cari dan waktu terjadi gejala kurang dari 3 minggu. Dengan melihat gejala pada pasien yaitu BAB dengan konsistensi cair sebanyak 4 kali sebelum masuk rumah sakit maka kecurigaan adanya diare akut menguat. Konsistensi tinja cari dan adanya lendir dan darah disangkal. Hal selanjutnya dalam evaluasi diare adalah menilai derajat dehidrasi dengan melihat tanda-tanda utama dan tanda-tanda tambahan. Tanda utama antara lain keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus, turgor kulit abdomen menurun. Tanda tambahan antara lain adanya ubun-ubun besar mencekung, kelopak mata cekung, air mata berkurang, mukosa bibir, mulut dan lidah kering (Pudjiadi et al, 2010).
Pada by ND tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan yang nyata, keadaan umum pasien baik, sadar, ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada ketika menangis, mukosa mulut dan bibir basah serta turgor kulit abdomen yang kembali < 2 detik. Hal ini memberikan kesimpulan tidak tampak dehidrasi pada pasien. Diare pada anak kecil paling sering disebabkan oleh infeksi virus. Melihat riwayat adanya lendir darah pada tinja disangkal maka diagnosis gastroenteritis akut dapat ditegakkan.
Tatalaksana diare berupa 5 lintas diare yaitu cairan, seng, nutrisi, antibiotik yang tepat dan edukasi. Untuk diare tanpa dehidrasi diberikan cairan per oral berupa oralit sebanyak 50-100 ml per oral tiap BAB. Pada by. ND yang dirawat inap dan telah dipasang jalur intravena maka pemberian cairan peroral diberikan sebanyak 25 ml tiap BAB dengan mempertimbangkan cairan yang masuk melalui jalur intravena. ASI dapat terus diberikan sesuai dengan kemauan anak. Zink diberikan dengan dosis 20 mg per 24 jam untuk anak diatas 6 bulan dan 10 mg per 24 jam untuk anak dibawah 6 bulan. Pemberian zink pada pasien by ND dengan usia 7 bulan adalah 20 mg per 24 jam.
Nutrisi pada pasien diare sama dengan anak sehat sesuai umur untuk mencegah kehilangan berat badan. Antibiotik diberikan jika ada indikasi seperti adanya riwayat BAB berlendir, berdarah atau berbau sangat busuk. Pada pasien riwayat ini disangkal sehingga antibiotik tidak diperlukan.


Daftar Pustaka
Fun L.W. 2010.  MIMS Pediatrics. UBM Media Asia: Singapore.
Kliegman Robert M. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. SAUNDERS ELSEVIER: Philadelphia
Pudjiadi A, Hegar B, Setyo H, Hikmah S, Ellen P, Eva D, 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. PP IDAI: Jakarta
Robert S. Porter. 2010. The Merck Manual Of Disease. Merck Sharp & Dohme Corp: USA
Rudolph Colin D. h, Rudolph Abraham M. 2003. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition. Mc Graw Hill: USA
Schwar

| bisnis online |

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar