Kejang adalah pelepasan aliran
elektrik abnormal dan tak terregulasi didalam substansia grisea otak dimana
aliran mendadak ini mengganggu fungsi normal otak. Serangan kejang bersifat
mendadak disertai perubahan tingkah laku, kesadaran, sensasi atau fungsi
otonomik (Robert, 2010).
Dalam mengevaluasi kejang maka
harus dibedakan apakah kejang diprovokasi atau tidak. Kejang yang diprovokasi
disebut juga kejang non-epileptik sedangkan kejang yang terjadi tanpa provokasi
disebut kejang epileptik (Schwartz, 1996). Pembedaan mekanisme epileptik dan
non-epileptik merupakan langkah pertama ketika menilai seorang pasien yang
mengalami kejang.
Perbedaan
kejang epileptik dan nonepileptik adalah (Robert, 2010):
Kejang epileptik:
·
Sering
tetapi tidak selalu tercatat pada elektroensefalogram (EEG)
·
Kelainan
otak kronis yang dicirikan dengan kejang tanpa provokasi rekuren ( ≥ 2).
·
Epilepsi
sering idiopatik tetapi berbagai kelaianan otak lain seperti malformasi, stroke
dan tumor dapat menyebabkan epilepsi simtomatik.
·
Kejadian
biasanya stereotipik
·
Sering
memberikan respon terhadap obat-obat antikonvulsan
Kejang nonepileptik
·
Tidak
ada kelainan pada EEG
·
Gambaran
bervariasi dari satu episode ke episode lain (tidak stereotipik)
·
Kejang
diprovokasi oleh kelaianan atau stressor sementara (contoh: gangguan metabolik,
infeksi susunan saraf pusat, kelaianan kardiovaskular, keracunan obat, demam)
·
Kejadian
kejang dapat ditimbulkan kembali pada beberapa kasus
Pada kasus By ND kejang yang
terjadi dari anamnesa mengarah kepada kecurigaan kejang demam. Dari pemeriksaan
ketika di Instalasi Gawat Darurat suhu pasien 36 ° C yang tidak menunjukkan
adanya demam. Ketika perawatan pun pasien kejang lagi tanpa provokasi sampai 3
kali di IGD. Hal ini membuat kecurigaan akan adanya kejang epileptik menguat.
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernah kejang tanpa panas 3
bulan yang lalu sebanyak 3 kali.
Penyebab
kejang bervariasi menurut umur terjadinya. Sebelum umur 2 tahun, penyebab
kejang tersering adalah defek perkembangan, jejas saat persalinan dan gangguan
metabolik. Umur 2 sampai 14 tahun penyebab kejang tersering adalah kelaianan
kejang idiopatik. Pada dewasa penyebab kejang tersering antara lain trauma
cerebral, gejala putus alkohol, tumor, stroke dan idiopatik (50%). Pada
geriatri penyebab kejang tersering ialah tumor dan stroke (Robert, 2010).
Kejang
diklasifikasikan menjadi kejang generalisata (umum) atau kejang parsial. Pada
kejang generalisata aliran elektrik yang menyimpang secara difus mempengaruhi
kedua hemisperium dan korteks cerebri saat onset kejang, kehilangan kesadaran
biasanya terjadi. kejang generalisata diakibatkan paling sering oleh gangguan
metabolik dan terkadang kelainan genetik. Yang termasuk kejang generalisata
antara lain spasme infantil, kejang absans, kejang tonik-klonik, kejang atonik
dan kejang myoklonik (Kliegman, 2007).
Kejang parsial disebabkan oleh
kelebihan cetusan neuronal pada salah satu korteks serebri dan paling sering
diakibatkan oleh abnormalitas struktural. Kejang parsial dapat berupa kejang
parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) ataupun kejang parsial kompleks
(dengan penurunan kesadaran).
Kejang parsial dapat diikuti
dengan kejang generalisata dimana terjadi kehilangan kesadaran. Kejang
generalisata sekunder ini terjadi ketika kejang parsial menyebar dan
mengaktifkan cerebrum bilateral. Aktifasi cerebrum ini dapat begitu cepatnya
hingga kejang parsial inisial tidak terlihat dalam evaluasi klinis.
By. ND dari riwayat kejang
didapatkan kejang dengan kehilangan kesadaran sehingga mengarah ketipe kejang
generalisata. Ibu pasien mencontohkan kejangnya dengan memfleksi dan
mengekstensikan eksteremitas atasnya. Dari informasi ini ditarik kesimpulan
bahwa tipe kejang pada pasien By. ND adalah kejang generalisata kesan
tonik-klonik.
Pemeriksaan fisik dapat
memberikan petunjuk terhadap kausa dari kejang yang simtomatik. Diantaranya:
Temuan
|
Kemungkinan Penyebab
|
Demam dan kaku kuduk
|
Meningitis
Perdarahan subarachnoid
Meningoenchepalitis
|
Papilledema
|
Peningkatan tekanan intrakranial
|
Defek neurologis fokal
|
Abnormalitas struktural (stroke, tumor)
Paralisis postiktal
|
Iritabilitas otot generalisata
|
Keracunan obat
Sindrom withdrawal
Kelaianan metabolik tertentu
|
Lesi kulit (noda cafe-au-lait, makula
hipomelanotik, plak shagreen)
|
Kelaianan neurokutaneus
(neurofibromatosis, sklerosis tuberous)
|
Dari
pemeriksaan fisik, by. ND tidak menunjukkan adanya defek neurologis total,
demam ataupun iritabilitas terhadap rangsang yang dapat menyingkirkan penyebab
organik berupa meningitis dan abnormalitas struktural secara klinis. Ubun-ubun
besar pasien juga tidak menonjol sehingga kecurigaan terhadap penengkatan
tekanan intrakranial dapat disingkirkan. Jika penyebab kejang idiopatik maka
pemeriksaan fisik tidak khas, hal ini sesuai dengan yang didapatkan pada
evaluasi klinis by. ND.
Untuk pemeriksaan yang lebih
lanjut diperlukan CT-scan kepala untuk menyingkirkan kelainan struktural di
otak secara pasti. Karena kecurigaan mengarah ke kejang epileptik maka
elektroensefalogram merupakan hal yang penting dalam evaluasi namun harus
selalu diingat bahwa EEG yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosa
epilepsi (Rudolph, 2003).
Diagnosis epilepsi harus
dibuat secara klinis (Robert, 2010). Dengan mempertimbangkan adanya riwayat
kejang tanpa provokasi sebanyak 3 kali dan dari observasi pasien kembali kejang
tanpa dipicu panas ataupun penyebab organik yang tampak maka diagnosis epilepsi
dapat ditegakkan pada pasien by. ND.
Tatalaksana epilepsi secara inisial dimuali
dengan pengganaan obat-obat antiepileptik. Tujuan pertama dari penggunaan
obat-obat antiepileptik adalah menemukan secepatnya obat antiepileptik yang
memberikan kontrol kejang terbaik dengan tolerabilitas dan keamanan maksimal (Rudolph, 2003). Dalam memberikan obat
antiepileptik karakteristik personal dari pasien seperti gender, umur, kondisi
komorbid, obat yang sedang dikonsumsi, dan gaya hidup harus dipertimbangkan. Pada
konteks klinis pemberian terapi farmakologis untuk mengontrol epilepsi baru
diberikan jika terjadi kejang tanpa provokasi ≥ 2 kali dalam jangka waktu 6
bulan (Fun, 2010). Melihat
kondisi klinis kejang pada by. ND maka terapi farmakologis diberikan.
Pilihan pertama pengobatan
epilepsi dengan tipe kejang tonik-klonik generalisata adalah asam valproat,
lamotrigine, levaricetam, atau topiramate. Karbamazepin, fenitoin, zonisamide
dapat dipertimbangkan untuk pilihan yang lebih lanjut. Terapi inisial epilepsi
harus dimulai dengan monoterapi (Rudolph,
2003). Sebelum jenis obat diganti atau menambahkan jenis obat lain,
dosis dari terapi inisial dinaikkan dulu secara perlahan sampai kejang
terkontrol atau dosis maksimal yang diperbolehkan pada pasien tercapai.
Untuk terapi farmakologis pada
by. ND dipilih asam valproat dengan dosis inisial 10 mg/kgBB/24jam per oral
yang diberikan 1 kali sehari (Fun,
2010). Sediaan yang diberikan berupa asam valproat dalam benuk sirup 250mg/5ml
sehingga pemberiannya ialah 1 x ⅓ cth per 24 jam.
Penghentian pengobatan
dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan harus didiskusikan dengan orang tua
atau penanggung jawab pasien. Pengobatan dapat dilanjutkan lebih lama jika ada
resiko rekurensi begitu obat dihentikan. Faktor resiko terjadinya rekurensi
ialah adanya etiologi kejang simptomatik terpisah, onset kejang pada umur lebih
dari 12 tahun, riwayat epilepsi pada keluarga, gambaran perlambatan pada EEG,
riwayat kejang demam kompleks dan IQ yang kurang dari 50 (Rudolph, 2003).
Diare akut diartikan sebagai
buang air besar dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan
konsistensi cari dan waktu terjadi gejala kurang dari 3 minggu. Dengan melihat
gejala pada pasien yaitu BAB dengan konsistensi cair sebanyak 4 kali sebelum
masuk rumah sakit maka kecurigaan adanya diare akut menguat. Konsistensi tinja
cari dan adanya lendir dan darah disangkal. Hal selanjutnya dalam evaluasi
diare adalah menilai derajat dehidrasi dengan melihat tanda-tanda utama dan
tanda-tanda tambahan. Tanda utama antara lain keadaan umum gelisah/cengeng atau
lemah/letargi/koma, rasa haus, turgor kulit abdomen menurun. Tanda tambahan
antara lain adanya ubun-ubun besar mencekung, kelopak mata cekung, air mata
berkurang, mukosa bibir, mulut dan lidah kering (Pudjiadi et al, 2010).
Pada by ND tidak ditemukan
tanda utama dan tanda tambahan yang nyata, keadaan umum pasien baik, sadar,
ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada ketika menangis,
mukosa mulut dan bibir basah serta turgor kulit abdomen yang kembali < 2
detik. Hal ini memberikan kesimpulan tidak tampak dehidrasi pada pasien. Diare
pada anak kecil paling sering disebabkan oleh infeksi virus. Melihat riwayat
adanya lendir darah pada tinja disangkal maka diagnosis gastroenteritis akut
dapat ditegakkan.
Tatalaksana diare berupa 5
lintas diare yaitu cairan, seng, nutrisi, antibiotik yang tepat dan edukasi.
Untuk diare tanpa dehidrasi diberikan cairan per oral berupa oralit sebanyak
50-100 ml per oral tiap BAB. Pada by. ND yang dirawat inap dan telah dipasang
jalur intravena maka pemberian cairan peroral diberikan sebanyak 25 ml tiap BAB
dengan mempertimbangkan cairan yang masuk melalui jalur intravena. ASI dapat
terus diberikan sesuai dengan kemauan anak. Zink diberikan dengan dosis 20 mg
per 24 jam untuk anak diatas 6 bulan dan 10 mg per 24 jam untuk anak dibawah 6
bulan. Pemberian zink pada pasien by ND dengan usia 7 bulan adalah 20 mg per 24
jam.
Nutrisi pada pasien diare sama
dengan anak sehat sesuai umur untuk mencegah kehilangan berat badan. Antibiotik
diberikan jika ada indikasi seperti adanya riwayat BAB berlendir, berdarah atau
berbau sangat busuk. Pada pasien riwayat ini disangkal sehingga antibiotik
tidak diperlukan.
Daftar Pustaka
Fun L.W. 2010. MIMS Pediatrics. UBM Media Asia:
Singapore.
Pudjiadi
A, Hegar B, Setyo H, Hikmah S, Ellen P, Eva D, 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. PP IDAI:
Jakarta
Robert S. Porter. 2010. The Merck Manual Of Disease. Merck Sharp & Dohme Corp: USA
Rudolph Colin
D. h, Rudolph Abraham M. 2003. Rudolph's
Pediatrics, 21st Edition. Mc
Graw Hill: USA
Schwar