Hingga saat ini pneumonia masih merupakan
masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pada balita pneumonia merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
utama. terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak di negara berkembang, berbagai faktor resiko itu
adalah: pneumonia pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A,
tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen pada nasofaring dan tingginya
pajanan polusi udara (Said, 2008).
Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai
parenkim paru. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal-hal lain (aspirasi,
radiasi dll). Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial
dengan pneumonia viral. Demikian pula pada pemeriksaan radiologis dan
laboratorium tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Walaupun pneumonia viral
dapat ditatalaksana dengan antibiotik namun pada umumnya sebagian besar pasien
diberi antibiotik dikarenakan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan(Said,
2008).
Berdasarkan
tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia yaitu 1)
pneumonia-masyarakat (community-acquired
pneumonia), bila infeksinya terjadi di masyarakat, dan 2) pneumonia-RS (hospital-acquired pneumonia), bila infeksinya
terdapat di RS.
Etiologi dan patofisiologi
Usia merupakah salah satu faktor yang
memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak, terutama
dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.
Penyebab spesifik dari
pneumonia pada setiap pasien seringkali sulit ditentukan dikarenakan kultur
langsung dari jaringan pulmo merupakan prosedur invasif dan jarang
dilakukan. Kultur yang diambil dari
saluran nafas atas atau sputum secara umum tidak merefleksikan penyebab infeksi
saluran nafas bawah.
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) merupakan bakteri patogen tersering diikuti Chlamydia
pneumoniaedanMycoplasma
pneumoniae.Spektrum
mikroorganisme penyebab pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan
penyebab pada anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi
kecil meliputi streptokokus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.Coli,
pseudomonas Sp atau Kliebsila Sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita
pneumonia sering disebabkan oleh streptokokus pneumonia, haemofilus influza
tipe B dan stapilokokus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja
selain bakteri tersebut sering juga ditemukan infeksi mycoplasma pneumoniae(Said,
2008).
Saluran nafas bawah secara
normal bersifat steril akibat mekanisme pertahanan fisiologik, termasuk klirens
mukosiliar, adanya immunoglobulin A (IgA) sekretorik dalam sekret normal dan
adanya refleks batuk.
Penumonia viral biasanya
terjadi akibat penyebaran infeksi sepanjang saluran nafas, diikuti oleh jejas
langsung pada epitelium respiratorik sehinngga terjadi obstruksi akibat
pembengkakan, sekresi abnormal, dan debris selular. Kecilnya diameter saluran
nafas pada bayi membuat populasi ini rentan terkena infeksi yang berat.atelektasi,
edema interstitial dan gangguan ventilasi-perfusi menyebabkan hipoksemia yang
signifikan bersamaan dengan obstruksi jalan nafas. Infeksi viral dari traktus
respiratorius dapat juga menjadi presisposisi untuk terjadinya infeksi
bakterial sekunder akibat berubahnya mekanisme pertahanan pejamu, sekresi yang
abnormal dan berubahnya flora normal (Kliegman, 2007).
Ketika infeksi bakteri terjadi
di parenkim pulmo, maka proses patologis tergantung kepada organisme yang
menyerang. M. pneumoniae menempel ke epitelium respiratorik, menghambat kerja
siliar, dan berlanjut kepada destruksi selular dan respon inflamasi di
submukosa. Seiring dengan proses infeksi, debris selular, sel-sel inflamatori
dan mukus meyebabkan obstruksi saluran nafas seiring dengan penyebaran infeksi
sepanjang pohon bronkial.
S. pneumoniae menyebabkan
edema lokal yang bertanggung jawab dalam membantu proliferasi organisme dan
penyebarannya ke jaringan paru yang berdekatan sehingga infeksi S. Pneumoniae
seringkali berkarakteristik penumonia lobaris.
Infeksi oleh Group A
streptococcus pada saluran nafas bawah menyebabkan infeksi yang lebih difus
dengan pneumoniainterstitial. Patologinya termasuk nekrosis dari mukosa
trakeobronkial, terbentuknya eksudat masif, edema dan perdarahan lokal. Dengan
peluasan ke septum interalveolar dan vasa limfatik. Infeksi oleh group A
sterptokokus meningkatkan resiko keterlibatan pleura(Kliegman, 2007).
S. aureus pneumonia bermanifestasi
sebagai bronkopneumonia konfluen, seringkali unilateral dan dicirikan dengan
adanya area nekrosis perdarahan yang ekstensif dan area kavitasi iregular dari
parenkim pulmo menyebabkan pneumatokele, empyema, atau fistula bronkopulmonarius.
Umumnya mikroorganisme
penyebab terhisap ke paru bagian perifer melaui saluran respiratori. Pada
awalnya terjadi edema akut akibat reaksi lokal jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran patogen ke jaringan sekitarnya. Pada bagian paru
yang terkena akan terjadi konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel
polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di
alveoli. Stadium ini dimana terjadi endapan eritrosit disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya deposisi fibrin akan semakin bertambah, terdapat
fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
stadium ini disebut stadium hepatatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag
akan meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman
dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia
pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan
saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam jiwa dan mungkin terdapat
komplikasi sehingga memerlukan perawatan di Rumah sakit.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang
kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan
prosedurdiagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang realtif sering, dan faktor
patogenesis. Disamping itu kelompok usia pada anak merupakan faktor penting
yang menybabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia(Said, 2008).
Gambaran
klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi
secara umum adalah sebagai berikut:
·
Gejala
infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare dan terkadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
·
Gejala
gangguan respiratorik, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas
cuping hidung, air hunger, merintih
dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pekak atau
redup pada perkusi, suara nafas melemah, dan ronki. Perlu diingat pada neonatus
dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia umumnya lebih beragam dan tidak
selalu terlihat jelas.
Pada
neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi yang lebih tua grunting ini jarang ditemukan. Gejala yang
lebih sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, sesak nafas,
dn iritabilitas. Pada anak kelompok prasekolah dapat dijumpai panas, batuk
produktif atau nonproduktif, takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada (pudjiadi, 2010).
Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis
dan/atau serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan
bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang
memadai. Oleh karena itu pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan
sistem respiratorius serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis disertai satu atau lebih gejala respiratori berupa:
takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara nafas melemah(Said,
2008).
Pada pelayanan kesehatan
primer WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang sederhana.
Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis
yang langsung dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan
dasar pemakaian antibiotika. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi nafas
cepat, sesak napas dan sebagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan
kesehatan. Nafas cepat atau takipnea dihitung selama satu menit penuh ketika
bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya retraksi
dinding bawah dada kedalam ketika menarik nafas.
Klasifikasi
penumonia berdasarkan kriteria WHO (pudjiadi, 2010):
1. Bayi kurang dari 2 bulan
·
Pneumonia
berat: nafas cepat atau retraksi yang berat
·
Pneumonia
sangat berat: tidak mau menetek, kejang, letargis, demam atau hipotermia,
bradipnea atau pernapasan ireguler
2. Anak umur 2 bulan –5 tahun
·
Pneumonia
ringan: nafas cepat
·
Pneumonia
berat: retraksi
·
Pneumonia
sangat berat: tidak dapat minum, makan kejang, letargis, malnuutrisi.
Tatalaksana
Sebagian
besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misal toksik, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Pada neonatus dan bayi dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Kriteria
rawat inap pada (pudjiadi, 2010):
·
Bayi
§ Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
§ Frekuensi nafas ≥ 60 x/menit
§ Distres nafas, apnea intermiten, atau grunting
§ Tidak mau makan/ menetek
§ Keluarga tidak bisa merawat dirumah
·
Anak
§ Saturasi oksigen <92 o:p="" sianosis="">92>
§ Frekuensi nafas >50x/menit
§ Distres nafas
§ Grunting
§ Terdapat tanda dehidrasi
§ Keluarga tidak bisa merawat dirumah
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan
antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol.
Pada pneumonia ringan berobat jalan dapat diberikan antibiotik dosis tunggal
oral dengan efektifitas mencapai 90%. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah
25mg/kgBB sedangkan kotrimoksazol adala 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB
sulfametoksazol. Makrolida, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap s. Pneumoniae yang bersifat
atipik(Said, 2008).
Pada pasien rawat inap,
pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan
beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
kloramfenikol atau beta-laktam dapat digunakan antibiotik lain seperti
gentamisin, amikasin, atau sefalosporin sesuai dengan petunjuk etiologi yang
ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi.
Pada neonatus dan bayi kecil,
terapi awal antibiotik intravena harus dimuali sesegera mungkin. Oleh karena
pada neonatus dan bayi kecil seringkali terjadi sepsi dan meningitis maka
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi bera-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
sefalosporin generasi tiga(Said, 2008).
Daftar pustaka
Pudjiadi
A, Hegar B, Setyo H, Hikmah S, Ellen P, Eva D, 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. PP IDAI:
Jakarta
Said Mardjanis, 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Badan
Penerbit IDAI: Jakarta