Definisi
General anestesia
(GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan depresi nervus
saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara intravena,
inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya.
Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan
relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara parenteral dan inhalasi.
Stadium anestesi terdiri dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium
disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut
Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah,
biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir
dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium
delirium
Mulai dari akhir
stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar
dengan refleks cahaya (+), pergerakan
bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya refleks menelan dan
kelopak mata.
c.
Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana
pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana, yaitu :
1.
Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur,
pernafasan torakal sama kuat dengan pernafasan abdominal, pergerakan bola mata
terhenti, kadang-kadang letaknya
eksentrik, pupil mengecil
lagi dan refleks
cahaya (+), lakrimasi akan
meningkat, refleks farings
dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
2.
Plana 2
Ditandai dengan pernafasan yang teratur,
volume tidal menurun dan frekwensi pernafasan
naik. Mulai terjadi
depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir
ditengah, pupil mulai midriasis
dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.
3.
Plana 3
Ditandai
dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena
paralisis otot interkostal
yang makin bertambah sehingga pada akhir plana
3 terjadi paralisis total otot
interkostal, juga mulai
terjadi paralisis otot-otot diafragma,
pupil melebar dan
refleks cahaya akan menghilang
pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang,
tonus otot-otot makin menurun.
4.
Plana 4
Pernafasan tidak
adekuat, irreguler, ‘jerky’
karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir
plana 4, paralisis total diafragma, tonus
otot makin menurun
dan akhirnya flaccid, pupil
melebar dan refleks cahaya (-),
refleks sfingter ani menghilang.
d.
Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi
Pada kasus pembedahan khusus
yang tidak tahu berapa lama pembedahaan akan berlangsung, dapat dipilih jenis
anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang memiliki kecemasaan yang cukup
besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap tenang dan
tidak berontak saat dilakukan pembedahaan.
Tahapan General Anestesi
-
Induksi (awal pembiusan)
-
Konduksi (maintenance pembiusan)
-
Recovery (sadar kembali setelah anestesi)
Prosedur Anestesi Umum
Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan
menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat
dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah
elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat
waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan
pra anestesi:
- Mempersiapkan
mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan
memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak
pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan
seminimal mungkin.
- Menentukan
klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis
pasien secara umum.
Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat
diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien
(alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis
serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus
diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi
pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit
yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam
anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru
kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
- Riwayat
obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi
dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obatobat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi
dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang
waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk
sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok
dan alkohol.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan
fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah
relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium
hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang
dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara
rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat
rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada
diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan
komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari.
D. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif
boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan
bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
E. Masukan oral
Refleks laring
mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman
bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air
putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
F. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status
fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of Anesthesiologists) membuat
klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut:
ASA I : Pasien
sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien
dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien
dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien
dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.
ASA VI: mati
batang otak, potensi untuk donor organ.
Klasifikasi ASA
juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
darurat
(E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
G. Premedikasi
Premedikasi ialah
pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan
kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar
induksi anesthesia
-Mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan
jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual
muntah pasca bedah
-Menciptakan
amnesia
-Mengurangi isi
cairan lambung
-Mengurangi
refleks yang membahayakan
Kecemasan
merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti.
Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25
ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan
kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi
yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik
tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai
dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.
Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi
(mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke
rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa
campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya,
mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang
aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
- Dapat
menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Ruang rugi (dead
space) minimal
- Mengeluarkan CO2
dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban
terjaga dengan baik
- Penggunaannya
sangat mudah dan aman
Komponen dasar
mesin anestetik terdiri dari:
- Sumber O2, N2O,
dan udara tekan.
- Alat pantau
tekanan gas (pressure gauge)
- Katup penurun
tekanan gas (pressure reducing valve)
- Meter aliran gas
(flowmeter)
- Satu atau lebih
penguap cairan anestetik (vaporizers)
- Lubang keluar
campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2
darurat (oxygen flush control)
Tabung gas beserta
alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk menghindari kecelakaan
yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah disepakati ialah:
Oksigen (putih), N2O (biru), Udara
(Putih hitam kuning), CO2(Abuabu), Halotan (Merah), Enfluran (Jingga),
Isofluran (Ungu), Desfluran (Biru), Sevofluran (kuning).
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi
atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja
menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas
pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan
aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi
umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka,
sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi
dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL,
adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa
cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam
(karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang
(reservoir bag)
- Tempat masuk
campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah
terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup
membatasi tekanan sampai 50 cm H2O .
Sirkuit anestesi
yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit
Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka
Pemakaian sungkup
muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke pasien. Terdapat
beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup
karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif
memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik. Teknik
sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada
reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya
kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang
tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi
jalan nafas.
Sungkup dipegang
melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup dilakukan dengan jempol
kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu
ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien.
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat
digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat
diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter
tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang
digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm.
pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Sedangkan untuk
bayi dan anak kecil cara memilih ukuran pipa trakea adalah dengan rumus :
-
Diameter dalam pipa trakea (mm) : 4.0 + ¼ umur (th)
-
Panjang pipa orotrakeal tube (cm) : 12 + ½ umur (th)
-
Panjang pipa nasotrakeal (cm) : 12 + ½ umur (th)
Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan
untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian anestesi, untuk
membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan
membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih
kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada
pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh
seperti hamil atau komplians paru rendah seperti penyakit jalan nafas
restriktif.
Induksi dan rumatan anestesi
Induksi anestesi
adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai
induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih
baik. Untuk
persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope : Stetoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah atau daun
(blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes : Pipa
trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia >
5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway : Pipa
mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (nasotracheal
airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape : Plester
untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer :
Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector :
Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction :
Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi
dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena
paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena,
karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Anestetik
intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesthesia,
tambahan apada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic. Obat
yang biasa digunakan adalah : Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan dihabiskan 30-60 detik, Propofol dosis bolus induksi 2-2,5 mg/kg,
Ketamin untuk induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg/kg,
Opioid (fentanil) dosis induksi 20-50 mg/kg.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang
hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7
mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang
digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat
- tidak berbau
menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat
pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi
ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan,
karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya
untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda induksi
berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada
gerakan pada kelopak mata.
Rumatan anesthesia
Rumatan anesthesia
(maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anesthesia biasanya mengacu kepada trias anesthesia yaitu hipnotik-sedatif,
analgesia dan relaksasi.
Rumatan intravena
misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi
Rumatan inhalasi
biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol % atau
enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol% bergantung
apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled).
Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas
spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk
tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum
pasien cukup baik, lambung harus kosong.
- Teknik anestesi
nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi
lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup
muka.
- Teknik anestesi
dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Ekstubasi
Mengangkat keluar
pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang
otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi)
sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar
pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena
hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia
(perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain itu juga bisa
diberikan obat-obatan simptomatik biasanya analgesia ketorolac dan antimuntah
ondansetron