b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

Senin, 18 November 2013

Tes Provokasi Oral

thumbnail Title: Tes Provokasi Oral
Posted by:Unknown
Published :2013-11-18T01:19:00-08:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
Tes Provokasi Oral
 Tes Provokasi (TP) adalah administrasi terkontrol dari obat yang digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas. Pengertian lain mengatakan bahwa tes provokasi merupakan tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang diharapkan. TP merupakan baku emas (gold standard) yang digunakan untuk menetapkan dan meniadakan diagnosis hipersensitivitas dari zat tertentu, tidak hanya yang dapat menyebabkan gejala alergi, tetapi juga manifestasi klinis yang merugikan terlepas dari mekanismenya.3 TP merupakan salah satu upaya pendekatan diagnosis dari alergi obat yang relatif sederhana namun harus dikerjakan di RS dengan pengawasan, serta siap antisipasi jika terjadi reaksi alergi kembali terlebih lagi bila timbul reaksi yang berat seperti misalnya reaksi anafilaksis. Karena itu hendaknya dikerjakan oleh tenaga yang memiliki kompetensi, dan fasilitas resusitasi lengkap sudah dipersiapkan sebelum dilakukan tes, serta dilengkapi dengan informed consent.The European Network for Drug Allergy (ENDA) dari the European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) merekomendasi TP sebagai alternatif upayapendekatan diagnosis dari alergi obat sebagaipenunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Sebelum melakukan TP, evaluasi resiko dan manfaat harus dilaksanakan terlebih dahulu. Adapun indikasi untuk melakukan TP adalah :
a.    Untuk membedakan adanya kemungkinan reaksi yang terjadi bukan suatu reaksi hipersensitivitas, misalnya terjadinya reflek vagal setelah pemberian anestesi lokal.
b.    Untuk memberikan farmakologi (obat) yang aman, yaitu obat yang tidak berhubungan dengan obat yang terbukti memiliki hipersensitivitas.
c.    Untuk menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi silang (cross-reaktivity)dari obat-obatan yang berhubungan dalam hipersensitivitas, misalnya sefalosporin dalam subyek alergi penisilin atau NSAID alternatif pada asma yang sensitif terhadap aspirin.
d.   Untuk mengkonfirmasi obat penyebab timbulnya reaksi atau standar baku.

Kontraindikasi TP adalah pada wanita hamil, pada penderita yang diprediksi kondisinya akan menjadi lebih buruk dengan TP obat tersebut (infeksi akut, asma tak terkontrol, penderita dengan penyakit jantung, hati dan ginjal).4 Demikian juga pada penderita; sindroma vaskulitis, dermatitis exfoliative, sindroma Stevens-Johnson, Toxic EpidermalNecrolysis (TEN), SLE, Pemphigus Vulgaris, dan Bullous Pemphigoid. Pengecualian dapat dilakukan jika obat dicurigai sangat penting bagi pasien, misalnya pada neurosifilis dan terapi penisilin.

Pelaksanaan TP ini dilakukan dengan tahapan meliputi cara pemberian obat, uji agen, dosis dari persiapan tes, interval waktu pemberian obat, interval waktu antara reaksi dengan TP, persiapan untuk prosedur provokasi, pelaksanaan tes, dan penilaian terhadap hasil tes.

Pemberian obat dilakukan dengan berbagai cara, oral, parenteral (iv,im,sc), topical (nasal), bronchial, konjungtiva, kutaneus, dsb. Namun, dalam hal ini oral menjadi pilihan utama karena penyerapan lebih lambat sehingga reaksi yang tidak diinginkan dapat diobati lebih awal dibandingkan dengan TP pada pemberian secara parenteral.

Dosis dari persiapan tes dan interval waktu pemberian obat tergantung dari berbagai variable, termasuk jenis obat itu sendiri, tingkat keparahan dari reaksi hipersensitivitas obat saat pemeriksaan, cara pemberian, perkiraan waktu antara aplikasi dan reaksi, kondisi kesehatan dari pasien, dan co-medication mereka. Umumnya tes harus mulai dengan dosis rendah, kemudian ditingkatkan sedikit-demi sedikit dan segera dihentikan ketika gejala objektif pertama terjadi. Jika tidak ada gejala muncul, yang dosis tunggal maksimum obat yang spesifik harus dicapai, dan pemberian dosis harian sangat diperlukan. Dalam kasus reaksi langsung sebelumnya (yakni terjadi kurang dari 1 jam setelah pemberian obat) dosis awal harus diantara 1:10.000 dan 1:10 dari dosis terapi, tergantung pada beratnya reaksi.3 Interval waktu antara dosis minimal 30 menit, namun banyak obat dan situasi tertentu memerlukan interval waktu yang lebih lama. Dalam kasus reaksi non-langsung sebelumnya (yakni terjadi lebih dari 1 jam setelah pemberian obat terakhir) dosis awal tidak boleh melebihi 1:100 dari dosis terapi. Tergantung pada obat dan ambang respon pasien, TP dapat diselesaikan dalam waktu beberapa jam, hari atau, kadang-kadang minggu.

Persiapan untuk prosedur tes provokasi terdiri dari pertimbangan etis, perlindungan untuk TP, dokumentasi, dan aspek praktis. Tes provokasi harus dilakukan dengan metode placebo terkontrol, single blind, dan dalam situasi tertentu dimana aspek psikologis mungkin berlaku, bisa juga dengan double blind.

Rekomendasi yang harus diberikan sebelum melakukan TP adalah sebagai berikut.
1.        Hilangkan hipersensitivitas pada riwayat non-sugestif.
Banyak pasien salah diberikan label “alergi” berdasarkan riwayat penyakitnya tanpa dites, atau dibuktikan dengan tes dengan nilai prediktif terbatas, seperti tes kulit dengan opiat, deteksi IgE dalam hipersensitivitas aspirin  atau tes biologi yang tidak valid. Sebagai contoh, banyak reaksi merugikan pada anestesi lokal karena faktor non-alergi yang mencakup vasovagal atau respon adrenergik. Untuk menghilangkan kemungkinan reaksi yang dimediasi oleh imun, tingkat paparan harus diketahui.
2.    Menyediakan alternatif yang aman pada pasien dengan alergi dan  membuktikan toleransi.
Pasien dengan alergi penisilin yang diklaim  memiliki risiko meningkat sekitar sepuluh kali lipat memiliki reaksi alergi terhadap obat antimikroba selain penisilin dan sefalosporin. Lebih lengkapnya akan dibahas pada contoh kasus.
3.    Hilangkan reaktivitas silang-obat yang terbukti menyebabkan hipersensitivitas.
Pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin dan tes kulit positif mempunyai peningkatan resiko tiga kali lebih tinggi jika suatu sefalosporin diberikan, oleh karena itu  TP dalam kondisi yang terkendali setelah melakukan  tes kulit, penting dilakukan sebelum rating sefalosporin mengganggu.
4.    Menetapkan diagnosis pada kasus-kasus dengan riwayat yang sugestif namun dengan tes yang negatif (kulit atau in vitro).
Untuk mengklarifikasi hipersensitivitas obat yang dicurigai pada tes kulit biasanya adalah hal pertama yang akan dilakukan, tetapi sering dengan  hasil negatif. Agen penyebabnya kemudian hanya dapat diidentifikasi dengan TP.

Tes  provokasi dikatakan positif jika hasilnya menunjukkan gejala yang sebenarnya. Jika reaksi sebenarnya diwujudkan dengan gejala yang subjektif dan pada pengujian ulang menunjukkan hal yang sama, gejala yang tidak diverifikasi, maka tes berulang dengan plasebo harus dilakukan. Jika dengan placebo hasilnya negatif, maka pengulangan dengan dosis obat sebelumnya sangat direkomendasikan.

Nilai prediktif TP terutama tergantung pada jenis / mekanisme reaksi dan obat yang terlibat. Seorang dokter dalam melakukan TP untuk reaksi hipersensitivitas obat harus mengetahui literatur tertentu dan kebutuhan pengalaman yang cukup dalam membedakan banyak alasan untuk hasil tes false-negatif dan false-positif.  Alasan ini adalah banyak tetapi dapat dievaluasi dan dihindari di sebagian besar kasus. 
t�l=8ތ �� ottom:0cm;margin-bottom:.0001pt; mso-add-space:auto;text-align:justify;line-height:150%;mso-list:l2 level1 lfo3'>Editorial. Dermaimaging: Dermoscopy signs in favor of seborrheic keratosis. Diunduh dari: http://www.dermaimaging.com/?m=200905
10.  Surjushe A, Jindal S, Gote P, Saple DG. Darier's sign. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2007;73:363-4
11.  Bernhard, Jeffrey. "Clinical Pearl: Auspitz sign in psoriasis scale." Journal of the American Academy of Dermatology. 36(1997):621.
12.  Bernhard JD. "Auspitz sign is not sensitive or specific for psoriasis." Journal of the American Academy of Dermatology. 6(1990):1079-81.
  1. James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0.
  2. Freiman A, Kalia S, O'Brien EA. Dermatologic signs. J Cutan Med Surg. 2006 Jul-Aug;10(4):175-82.
  3. Rapini, Ronald P.; Bolognia, Jean L.; Jorizzo, Joseph L. (2007). Dermatology: 2-Volume Set. St. Louis: Mosby. ISBN 1-4160-2999-0.
  4. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Edisi 5. Cetakan 2. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI, 2007.







| bisnis online |

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar