Tes Provokasi (TP)
adalah administrasi terkontrol dari obat yang digunakan untuk mendiagnosis
reaksi hipersensitivitas. Pengertian lain mengatakan bahwa tes provokasi
merupakan tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang
lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian
dosis ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh
sesuai dengan yang diharapkan. TP merupakan baku emas (gold standard)
yang digunakan untuk menetapkan dan meniadakan diagnosis hipersensitivitas dari
zat tertentu, tidak hanya yang dapat menyebabkan gejala alergi, tetapi juga
manifestasi klinis yang merugikan terlepas dari mekanismenya.3 TP
merupakan salah satu upaya pendekatan diagnosis dari alergi obat yang relatif
sederhana namun harus dikerjakan di RS dengan pengawasan, serta siap antisipasi
jika terjadi reaksi alergi kembali terlebih lagi bila timbul reaksi yang berat
seperti misalnya reaksi anafilaksis. Karena itu hendaknya dikerjakan oleh
tenaga yang memiliki kompetensi, dan fasilitas resusitasi lengkap sudah
dipersiapkan sebelum dilakukan tes, serta dilengkapi dengan informed
consent.The European Network for Drug Allergy (ENDA) dari the European
Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) merekomendasi TP sebagai
alternatif upayapendekatan diagnosis dari alergi obat sebagaipenunjang
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sebelum melakukan
TP, evaluasi resiko dan manfaat harus dilaksanakan terlebih dahulu. Adapun
indikasi untuk melakukan TP adalah :
a. Untuk membedakan
adanya kemungkinan reaksi yang terjadi bukan suatu reaksi hipersensitivitas,
misalnya terjadinya reflek vagal setelah pemberian anestesi lokal.
b. Untuk memberikan
farmakologi (obat) yang aman, yaitu obat yang tidak berhubungan dengan obat
yang terbukti memiliki hipersensitivitas.
c. Untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi silang (cross-reaktivity)dari
obat-obatan yang berhubungan dalam hipersensitivitas, misalnya sefalosporin
dalam subyek alergi penisilin atau NSAID alternatif pada asma yang sensitif terhadap
aspirin.
d. Untuk mengkonfirmasi
obat penyebab timbulnya reaksi atau standar baku.
Kontraindikasi TP adalah pada wanita hamil, pada penderita yang diprediksi
kondisinya akan menjadi lebih buruk dengan TP obat tersebut (infeksi akut, asma
tak terkontrol, penderita dengan penyakit jantung, hati dan ginjal).4
Demikian juga pada penderita; sindroma vaskulitis, dermatitis exfoliative,
sindroma Stevens-Johnson, Toxic EpidermalNecrolysis (TEN), SLE, Pemphigus
Vulgaris, dan Bullous Pemphigoid. Pengecualian dapat dilakukan jika
obat dicurigai sangat penting bagi pasien, misalnya pada neurosifilis dan
terapi penisilin.
Pelaksanaan TP ini dilakukan dengan tahapan meliputi cara pemberian obat,
uji agen, dosis dari persiapan tes, interval waktu pemberian obat, interval
waktu antara reaksi dengan TP, persiapan untuk prosedur provokasi, pelaksanaan
tes, dan penilaian terhadap hasil tes.
Pemberian obat dilakukan dengan berbagai cara, oral, parenteral (iv,im,sc),
topical (nasal), bronchial, konjungtiva, kutaneus, dsb. Namun, dalam hal
ini oral menjadi pilihan utama karena penyerapan lebih lambat sehingga reaksi
yang tidak diinginkan dapat diobati lebih awal dibandingkan dengan TP pada
pemberian secara parenteral.
Dosis dari persiapan tes dan interval waktu pemberian obat tergantung dari
berbagai variable, termasuk jenis obat itu sendiri, tingkat keparahan dari
reaksi hipersensitivitas obat saat pemeriksaan, cara pemberian, perkiraan waktu
antara aplikasi dan reaksi, kondisi kesehatan dari pasien, dan co-medication
mereka. Umumnya tes harus mulai dengan dosis rendah, kemudian ditingkatkan
sedikit-demi sedikit dan segera dihentikan ketika gejala objektif pertama
terjadi. Jika tidak ada gejala muncul, yang dosis tunggal maksimum obat yang
spesifik harus dicapai, dan pemberian dosis harian sangat diperlukan. Dalam
kasus reaksi langsung sebelumnya (yakni terjadi kurang dari 1 jam setelah
pemberian obat) dosis awal harus diantara 1:10.000 dan 1:10 dari dosis terapi,
tergantung pada beratnya reaksi.3 Interval waktu antara dosis
minimal 30 menit, namun banyak obat dan situasi tertentu memerlukan interval
waktu yang lebih lama. Dalam kasus reaksi non-langsung sebelumnya (yakni
terjadi lebih dari 1 jam setelah pemberian obat terakhir) dosis awal tidak
boleh melebihi 1:100 dari dosis terapi. Tergantung pada obat dan ambang respon
pasien, TP dapat diselesaikan dalam waktu beberapa jam, hari atau,
kadang-kadang minggu.
Persiapan untuk prosedur tes provokasi terdiri dari pertimbangan etis,
perlindungan untuk TP, dokumentasi, dan aspek praktis. Tes provokasi harus
dilakukan dengan metode placebo terkontrol, single blind, dan dalam
situasi tertentu dimana aspek psikologis mungkin berlaku, bisa juga dengan double
blind.
Rekomendasi yang harus diberikan sebelum melakukan TP adalah sebagai
berikut.
1.
Hilangkan hipersensitivitas pada riwayat non-sugestif.
Banyak pasien salah diberikan label “alergi” berdasarkan riwayat
penyakitnya tanpa dites, atau dibuktikan dengan tes dengan nilai prediktif
terbatas, seperti tes kulit dengan opiat, deteksi IgE dalam hipersensitivitas
aspirin atau tes biologi yang tidak valid. Sebagai contoh, banyak reaksi
merugikan pada anestesi lokal karena faktor non-alergi yang mencakup vasovagal
atau respon adrenergik. Untuk menghilangkan kemungkinan reaksi yang dimediasi
oleh imun, tingkat paparan harus diketahui.
2. Menyediakan alternatif yang aman pada pasien dengan alergi
dan membuktikan toleransi.
Pasien dengan alergi penisilin yang diklaim memiliki risiko meningkat
sekitar sepuluh kali lipat memiliki reaksi alergi terhadap obat antimikroba
selain penisilin dan sefalosporin. Lebih lengkapnya akan dibahas pada contoh
kasus.
3. Hilangkan reaktivitas silang-obat yang terbukti
menyebabkan hipersensitivitas.
Pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin dan tes kulit positif
mempunyai peningkatan resiko tiga kali lebih tinggi jika suatu sefalosporin
diberikan, oleh karena itu TP dalam kondisi yang terkendali setelah
melakukan tes kulit, penting dilakukan sebelum rating sefalosporin
mengganggu.
4. Menetapkan diagnosis pada kasus-kasus dengan riwayat
yang sugestif namun dengan tes yang negatif (kulit atau in vitro).
Untuk mengklarifikasi hipersensitivitas obat yang dicurigai pada tes kulit
biasanya adalah hal pertama yang akan dilakukan, tetapi sering dengan
hasil negatif. Agen penyebabnya kemudian hanya dapat diidentifikasi
dengan TP.
Tes provokasi dikatakan positif jika hasilnya menunjukkan gejala yang
sebenarnya. Jika reaksi sebenarnya diwujudkan dengan gejala yang subjektif dan
pada pengujian ulang menunjukkan hal yang sama, gejala yang tidak diverifikasi,
maka tes berulang dengan plasebo harus dilakukan. Jika dengan placebo hasilnya
negatif, maka pengulangan dengan dosis obat sebelumnya sangat direkomendasikan.
Nilai prediktif TP terutama tergantung pada jenis / mekanisme reaksi dan
obat yang terlibat. Seorang dokter dalam melakukan TP untuk reaksi
hipersensitivitas obat harus mengetahui literatur tertentu dan kebutuhan
pengalaman yang cukup dalam membedakan banyak alasan untuk hasil tes false-negatif
dan false-positif. Alasan ini adalah banyak tetapi dapat
dievaluasi dan dihindari di sebagian besar kasus.
t�l=8ތ��ottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;
mso-add-space:auto;text-align:justify;line-height:150%;mso-list:l2 level1 lfo3'>Editorial. Dermaimaging: Dermoscopy signs in favor of
seborrheic keratosis. Diunduh dari: http://www.dermaimaging.com/?m=200905
10. Surjushe A, Jindal S, Gote P, Saple DG. Darier's sign. Indian J
Dermatol Venereol Leprol 2007;73:363-4
11. Bernhard, Jeffrey. "Clinical Pearl: Auspitz sign in psoriasis
scale." Journal of the American Academy of Dermatology. 36(1997):621.
12. Bernhard JD. "Auspitz sign is not sensitive or specific for
psoriasis." Journal of the American Academy of Dermatology.
6(1990):1079-81.
- James, William; Berger,
Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0.
- Freiman A, Kalia S, O'Brien
EA. Dermatologic signs. J Cutan Med Surg.
2006 Jul-Aug;10(4):175-82.
- Rapini, Ronald P.; Bolognia,
Jean L.; Jorizzo, Joseph L. (2007). Dermatology: 2-Volume Set. St. Louis:
Mosby. ISBN 1-4160-2999-0.
- Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S, Editor. IlmuPenyakitKulitdanKelamin.
Edisi 5. Cetakan 2. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI, 2007.