Sklerosis
sistemik merupakan kelainan dari jaringan lunak yang memiliki pengaruh ke
organ-organ lain. Meskipun gejala awal penyakit pada umumnya mengenai pembuluh
darah tetapi kelainan pada kulit lebih sering terjadi pada pasien sklerosis
sistemik. Kehadiran Rayanud’s phenomenon, ulkus pada jari, penebalan kulit dan
kalsinosis berhubungan dengan beratnya penyakit. Sejak tidak terdapatnya
pengobatan yang adekuat untuk sklerosis sistemik maka penatalaksaan lebih
difokuskan kepada penanganan gejala dan pencegahan terjadinya komplikasi. Pada
jurnal ini, penulis akan membahas tentang penatalaksanaan awal bagi pasien
sklerosis sistemik dan penatalaksanaan terhadap komplikasinya (J Clin Aesthet
Dermatol. 2012;5(7):33–43.)
Sistemik
sklerosis merupakan penyakit jaringan lunak yang jarang terjadi dan bersifat
progresif serta lebih banyak mengenai wanita dibandingkan laki-laki. Prevalensi
tertinggi berada pada usia 30-50 tahun. Jarang terjadi pada anak-anak. Gejala
klinis yang muncul antara lain vasokonstriksi dari pembuluh darah kecil,
pembengkakan jari, penebalan kulit, kontraktur jari, nyeri sendi dan disfagia. Patofisiologi
dari sklerosis sistemik adalah kerusakan endotel dan vaskular yang memicu
aktivasi fibroblas yang menghasilkan peningkatan dari kolagen dan produksi
matriks ekstraseluler lainnya. Pada kulit, sklerosis sistemik ditandai dengan
adanya penimbunan kolagen di dermis, penipisan epidermis, hilangnya konjugasi
interpapilar, atrofi dari lapisan pada dermis yang pada akhirnya akan
menyebabkan fibrosis pada kulit, raynaud’s phenomenon, dan ulkus kutaneus.
Meskipun kondisi
mayor dari penyakit ini adalah abnormalitas vaskular dan kerusakan progresif dari organ-organ dalam,
penyebaran fibrosis dari sendi dan kulit lebih sering terjadi pada penyakit
ini. Beratnya kelainan pada kulit juga berhubungan dengan beratnya penyakit
yang memberikan prognosis buruk kepada pasien dengan sklerosis sistemik yang
bermanifestasi pada kulit. Pada artikel ini, penulis akan menjelaskan tentang
penatalaksanaan skelrosis sistemik pada kulit dengan peralihan dari pengobatan
konvensional menuju pengobatan alternatif lainnya.
Raynaud’s
Phenomenon
Raynaud’s Phenomenon pertama kali
ditemukan oleh Auguste-Maurice Raynaud pada tahun 1962 yaitu adanya fenomenan
perubahan warna yang disertai rasa nyeri yang terjadi pada tangan dan kaki
setelah terpajan oleh suhu dingin maupun stres emosional. Klasifikasi dari
Raynaud’s Phenomenon adalah idiopatik RP dan RP sekunder dimana kehadiran dari
Raynaud Phenomenon disertai dengan adanya penyakit lainnya terutama pada
penyakit jaringan lunak seperti sklerosis sistemik, systemic lupus eritematous,
dan sjorgen’s syndrome. RP primer memiliki prevalensi 5-10% dari suatu populasi
dan lebih banyak menyerang wanita dibandingkan pria. Lebih sering mengenai usia
30-50 tahun. Raynaud’s phenomenon merupakan suat tanda kardinal bagi sklerosis
sitemik dimana hampir menyerang 95% kasus. Berlawanan dengan RP primer, RP
sekunder lebih berhubungan dengan kelainan dari struktur pembuluh darah yang
berhubungan dengan vasospasme yang mengakibatkan berbagai macam komplikasi pada
jari yaitu adanya ulkus, infeksi dari jaringan lunak maupun infeksi pada
tulang, atau suatu keadaan iskemia hingga gangren. Banyak golongan obat yang
dapat digunakan untuk mengobati raynaud phenomenon pada sklerosis sistemik.
Digital
Ulcer
Ulkus pada jari merupakan
manifestasi klinis mayor pada pasien sklerosis yang terlokalisir maupun yang
generalisata terjadi pada 30-58% pasien. Ulkus jari lebih sering terjadi pada
sklerosis sistemik difus yang merupakan suatu tanda bahwa penyakit sudah memasuki
stadium yang cukup parah. Ulkus jari dapat terjadi pada jari tangan maupun jari
kaki yang lebih sering didahului oleh suatu fase iskemik. Hal lain yang
berhubungan dengan ulkus jari yaitu adanya trauma yang berulang dan kontaktur
pada sendi. Ulkus jari juga sering berhubungan dengan perkembangan daerah yang
mengalami kalsinosis.Nyeri yang ditimbulkan oleh menifestasi ini sangatlah
berat, fase penyebmbuhan berhubungan dengan atrofi, fibrosis dan daerah
avaskular yang pada jaringan lokal. Perbaikan fungsional berhubungan dengan
kualitas hidup pasien (fisik dan psikologis). Ulkus pada jari dapat
bermanifestasi ke suatu keadaan iskemik yang dapat berakibat gangren dan
akhirnya membutuhkan amputasi. Ada beberapa mekanisme patofisiologi dari ulkus
jari yang berhubungan dengan terapi dari kasus ini yaitu memblok patofisiologi
dari ulkus jari. Faktor pemicu dari ulkus jari belum diketahui, tetapi diduga
berhubungan dengan migrasi dari sel otot polos ke tunika intima dan adanya
diferensiasi dari fibroblas yang menghasilkan kolagen dan matriks ekstraselular
lainnya. Proses ini berhubungan dengan penyempitan lumen intravaskular yang
mengakibatkan tidak lancarnya aliran darah dan menyebabkan iskemi kronik pada
jaringan tersebut. Mekanisme dari kerusakan endotel berhubungan dengan
terdapatnya antibodi terhadap endotel yang menyebabkan kerusakan endotel,
aktivasi platelet dan yang melepaskan tromboksane dan menyebabkan trombosis
intralumen. Hingga saat ini, belum didapatkan terapi yang adekuat untuk
komplikasi ulkus jari pada sklerosis sistemik. Jika menemukan pasien dengan
ulkus jari, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah ukuran ulkus jari,
lokasi, fungsi, nyeri dan banyaknya jaringan yang hilang.
Terapi
non-farmakologi
Pendekatan pertama yang harus
dipertimbangkan pada pasien adalah penanganan nyeri. Selain itu, juga harus
diperhatikan tentang pemulihan fungsi dari tangan kemudian perbaikan perfusi ke
jaringan-jaringan kecil dan mencegah terbentuknya ulkus yang baru.
Penatalaksanaan nyeri
Nyeri yang timbul berhubungan
dengan beratnya ulkus yang dapat terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun.
Meskipun NSAIDs sering diresepkan tetapi lebbih sring dipilih menggunakan
asetaminofen ataupun golongan opiat karena NSAIDs memiliki resiko terjadinya
gangguan pada sistem gastrointestinal dan bersifat toksik terhadap ginjal.
Infeksi
Kontrol terhadap kontaminasi dan
dan kolonisasi bakteri sangat penting untuk mencegah terjadinya kehilangan
jaringan yang berlebihan. Sangat penting untuk dilakukan kultur kulit sebelum
memberikan terapi antibiotik. Setelah menunggu hasil kultur dapat diberikan
antibiotik oral yang sesuai dengan hasil kultur. Selain itu, antibiotik
parenteral juga dapat menjadi pilihan. Untuk infeksi yang menjalar hingga ke
tulang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui pakah
terjadi osteomielitis atau tidak.
Terapi
Farmakologi
Dihydropyridine-type calcium antagonist
Nifedipine
and nicardipine yang diberikan secara per oral sering digunakan sebagai terapi
lini pertama dari Raynaud’s Phenomenon. Golongan tersebut juga memiliki efek
untuk mengurangi perkembangan dari ulkus jari. Selain itu juga dapat digunakan
golongan analog prostasikilin. Obat yang biasa digunakan yaitu iloprost dan
epoprostenol yang keduanya diberikan secara intravena dan memiliki effek untuk
mencegah progresifitas dari ulkus pada jari. Sebuah studi menunjukkan
penggunaan infus iloprost selama 5-8 jam dan digunakan selama 3-5 hari.
Oral
endothelin receptor blockers (bosentan, sitaxentan, and ambrisentan).
Bosentan
digunakan pada pasien ulkus jari yang telah mengalami kegagalan dengan terapi
antagonis kalsium. Tidak ada batasan untuk penggunaan bosentan pada ulkus jari.
Suatu studi menunjukkan bosentan 62.5 mg
yang diberikan dua kali sehari yang dititrasi menjadi 125mg (2x1)
setelah satu bulan. Bosentan berhubungan dengan pencegahan pembentukan ulkus
baru yaitu sekitar 30%. Pengamatan tersebut dilakukan pada pasien ulkus jari
yang sudah mendapatkan terapi sedikitnya tiga macam obat. Terdapat juga laporan
kasus yang menggunakan selective endothelin type A receptor antagonist
(sitaxentan) 100mg satu kali sehari. Setelah pengobatan selama 4 bulan, pasien
mengatakan rasa nyerinya sangat berkurang dan mengalami penyembuhan sempurna. Hepatotoksik
merupakan efek samping dari penggunaan sitaxentan. Tujuh kasus yang memiliki
gambaran seperti hepatitis yang dipengaruhi obat dan dua kasus dengan gangguan
fungsi hati yang sangat parah.
Angiotensin converting enzyme inhibitors and alpha
adrenergic blockers
Beberapa studi menunjukkan bahwa golongan obat ini
dapat memperbaiki Raynaud’s Phenomenon dan Digital ulcer. Tetapi studi efikasi
penggunaan dari obat tersebut belum dapat dibuktikan.
Nitrat
Oral, topikal maupun sublingual dapat digunakan
untuk terapi dari Raynaud phenomenon ataupun digital ulcer. Suatu studi yang
tidak mengalami randomisasi, saat ini perlu evaluasi untuk penyembuhan dari
digital ulcer.
Phospodiesterase inhibitor
Sildenafil menunjukkan keuntungan pada pasien
dengan Raynaud Phenomenon. Suatu studi double-blind yang memiliki 57 sampel
menggunakan sildenafil 200mg/hari yang dibandingkan dengan plasebo menunjukkan
pengurangan frekuensi atau serangan dari raynaud phenomenon pada kelompok
sildenafil. Meskipun secara statistik hasilnya tidak signifikan.
Statin
Artovastatin oral yang diberikan 40mg/hari pada
pasien sklerosis sistemik memberikan perbaikan yang signifikan pada fungsi
endotel. Studi menunjukkan kadar NO meningkat dan kadar endhotelin-1 menurun
setelah terapi artovastatin yang dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Pembedahan
Tindakan pembedahan yang biasa dilakukan pada
pasien dengan ulkus jari yaitu pembedahan mikro yang bertujuan revaskularisasi
aliran darah di tangan, memperbaiki arteria digitalis, dan perifer atau digital
sympatectomy. Tindakan ini akan mempercepat penyembuhan dalam waktu 4-6 minggu.
Rekonstruksi vaskular pada pasien gangren merupakan suatu tindakan yang harus
dilakukan pada pasein sklerosis sistemik karena seringnya terjadi oklusi arteri
ulnaris dan arteri digitalis. Beberapa penulis mengatakan bahwa sympathectomy
servikal dapat mengurangi nyeri tetapi tidak membatu proses penyembuhan maupun
pencegahan timbulnya ulkus baru. Symphatectomy jari menunjukkan percepatan
proses penyembuhan karena meningkatkan aliran darah pada area yang terkena. Kesimpulannya,
symphatectomy jari dapat dilakukan pada pasein yang mengalami kegagalan dengan
terapi konservatif. Nyeri pada jari merupakan suatu gejala dari nervus ulnaris
dan dapat diperbaiki dengan blok dari nervus tersebut. Penulis lain
menyimpulkan bahwa amputasi konservatif merupakan pilihan terapi pada pasien
ulkus jari yang tidak mengalami penyebuhan setelah dilkukan terapi dengan
adekuat.
FIBROSIS KULIT
Penebalan
kulit merupakan suatu manifestasi klinik yang penting pada sklerosis sistemik.
Hanya 2% kasus yang tidak menunjukkan manifestasi ini. Meskipun tidak ada
terapi yang spesifik tetapi banyak pilihan yang dapat digunakan untuk mengobati
gejala ini. Pada beberapa studi, penebalan kulit ini dinilai dengan Rodnan skin
score yang menilai palpasi dari 17 area di tubuh manusia (Jari, tangan ,
lengan, kaki, wajah, dana dan perut) menggunakan skala 0-3. 0 = Normal, 1=
Penebalan kulit ringan, 2 = Penebalan kulit sedang, 3 = Penebalan kulit berat. Total
Skin Score (TSS) berkisar dari 0 = tidak ada penebalan hingga 51 = Penebalan
kulit berat.
Terapi non-farmakologi
Edukasi
pasien dan teknik rehabilitasi seperti stretching, peningkatan gerak, massase
berpengaruh terhadap kesembuhan dari sklerosis sistemik.
Terapi Farmakologi
Kortikosteroid
Penggunaan
kortikosteroid sebagai terapi sklerosis sistemik merupakan suatu pilihan yang
sering digunakan, tetapi penggunaannya berhubungan dengan krisis renal. Suatu
studi membandingkan penggunaan dexamethasone 100mg satu kali perbulan yang
diberikan selama 6 bulan dibandingkan dengan penggunaan plasebo menunjukkan
perbaikan Total Score Skin pada kelompok dexamethasone. Studi lain menunjukkan
perbaikan histopatologi pada kelompok ini.
D-penicillamine
Penicillamine merupakan metabolit dari penisilin
tanpa aktivitas antibiotik, mekanisme kerjanya yaitu mengurangi jumlah limfosit
T dan mencegah pembentukan kolagen. Obat ini juga menghambat fungsi makrofag
melalui penurunan IL-1. Hal ini menunjukkan perbaikan dari penyakit sklerosis
sistemik dan mencegah terjadinya komplikasi pada organ dalam. Suatu studi
prospektif yang dilakukan selama 15 bulan, 60 pasien diberikan D-Penicillamine
750mg/hari selama 6 bulan. Hal ini menunjukkan perbaikan terhadap sklerosis
sistemik
Cyclosporine A (CSA)
Cyclosporine
A yang merupaka anggota dari immunophilins-proteins bekerja memblok
defosforilasi faktor nukelar sel T, memblok transkripsi faktor dari mediator
inflamasi. Penurunan ketebalan kulit didapatkan pada pasien yang diterapi
dengan Cyclosporine A selama 48 minggu. Penggunaan CSA jangka panjang tidak
direkomendasikan karena meningkatkan risiko dari efek samping yaitu krisis
renal dan hipertensi.
Methotrexate
(MTX)
MTX
merupakan analog asam folat yang bekerja dengan cara menghambat dihydrofolate
reductase (DHFR) yang merupakan enzim yang bekerja mengkonversi dihydrofolate
menjadi tetrahydrofolate. Meskipun
penggunaan MTX pada sklerosis sistemik masih kontroversial, beberapa penelitian
menunjukkan perbaikan sklerosis sistemik dengan pengobatan MTX. Beberapa studi
menunjukkan hasil statistik yang tidak signifikan terhadap penggunaan MTX dan
meningkatkan resiko terjadinya efek samping.
Azathioprine
Azathioprine
yang dikonversi menjadi 6-mercaptopurine (6-MP) setelah diabsorbsi merupakan
analog purine analogue yang berhubungan dengan deoxyribonucleic acid (DNA) dan
ribonucleic acid (RNA) dan menghambat metabolisme purin dan pembelahan sel.
Relaps dari perkembangan kulit setelah penghentian terapi merupakan suatu efek
yang menguntungkan dari penggunaan Azathioprine
Chlorambucil
Chlorambucil
merupakan alkylating agent yang berhubungan dengan. Hal ini menunjukkan
penurunan TSS pada pasien sklerosis sistemik pada suatu percobaan yang
dibandingkan dengan plasebo. Suatu studi randomisasi, doubleblind, parallel
study dari 65 pasien yang membandingkan placebo dan chlorambucil
(0.05–0.1mg/kg/day) menunjukkan lebih banyak komplikasi pada kelompok
chlorambucil tetapi studi ini gagal menunjukkan perbedaan efek terapi pada
kedua kelompok
5-Fluorouracil
(5-FU)
5-FU
merupakan analog pyrimidine yang bekerja melalui mekanisme inhibisi thymidylate
synthase. 5-FU diteliti penggunaanya pada 12 pasien yang diobati selama 1.5
hingga 20 bulan dengan dosis 10–20mg/kg/minggu. Semua pasien menunjukkan
perbaikan yang signifikan (p<0 .05="" o:p="" pada="" tss.="">0>
Cyclophosphamide
Cyclophosphamide
merupakan alkylating agent yang digunakan untuk terapi kanker dan berbagai
macam penyakit autoimun. Ini berhubungan dengan SSc pada paru.
Cycclophosphamide juga menunjukkan perbaikan pada kulit serelah pengobatan
selama 1 tahun dengan dosis 1-2mg/kg/hari.
Gamma-interferon
Gamma-interferon
(IFN) merupakan inhibitor selektif dan poten dari proliferasi fibroblas dan
produksi kolagen. Penggunaanya juga menunjukkan kultur fibroblas dari SSc
pasien dengan penurunan sistesis kolagen dan protein non-kolagen. Mekanisme
kerjanya yaitu menurunkan koding messenger
RNA coding untuk pro alpha 1 collagen dan menghambat sintesis glycosaminoglycan, menunjukkan perbaikan yang
signifikan setelah penggunaan selama 12 bulan pada 9 pasien yang menerima 50μg/day,
3hari/minggu. Bagaimanapun juga, ini tidak berhasil menunjukan efektifitas pada
SSC dengan studi randomisasi, controlled, multicenter trial dan studi
prospektif lainnya
Alpha
IFN-2a
Alpha
IFN-2a terikan dengan reseptor membran spesifik yang menginduksi enzim, menekan
proliferasi sel dan menghambat replikasi virus. Obat ini tidak berhasil
menunjukkan efektifitas pada pengobatan SSc randomized,double-blind,
placebo-controlled trial pada 35 pasien. Tetapi, dapat ditemukan bahwa obat ini
berhungan dengan perbaikan fungsi paru pada pasien yang menerima terapi aktif
Calcitriol
(1,25 dihydroxycholecalciferol)
Calcitriol
merupakan bentuk aktif dari Vitamin D.
Calcitriol (0.75μg/hari selama 6 bulan, dilanjutkan dengan 1.25μg /hari selama
3 bulan) tidak berhasil menunjukkan perbedaan signifikan dari TSS pada studi
randomized, double-blind, placebo-controlled yang dilakukan selama 9 bulan pada
7 pasien. Kesimpulan sulit ditentukan, karena jumlah pasien yang terlalu
sedikit.
Retinoids
Retinoids
merupakan analog Vitamin A yang memiliki efek pada diferensiasi dan proliferasi
sel. Derivat Vit. A diteliti pada 31 pasien SSc yang dikombinasikan dengan
angen terapetik lainnya sperti kortikosteroid sistemik, immunosuppressan,
D-penicillamine, MTX, bucillamine, dan ultraviolet light A (UVA) irradiation. Hasil
statistik menunjukkan perbaikan yang signifikan (P<0 .01="" dalam.="" dalam="" dapat="" dari="" dengan="" digunakan="" efek="" histologi="" isotretinoin="" juga="" kutaneus="" lesi="" memperbaiki="" nbsp="" o:p="" organ="" pada="" pengobatan="" ssc.="" ssc="" terapi="" terdapat="" terhadap="" tetapi="" tidak="" tocoretinate="" topical="" yang="" ystemic="">0>
Relaxin
Merupakan
hormon dari family insulin yang mengembangkan matriks ekstraselular.
Penggunaannya menunjukkan pencegahan dan pengobatan yang menunjukkan fibrosis
pada berbagai macam model. Terapi relaxin pada fibroblas atau scleroderma
fibroblas menghasilkan penurunan dari sekresi kolagen dan meningkatkan
degradasi kolagen. Studi pada 30 pasien dengan stable diffuse scleroderma
menunjukkan relaxin aman dan dapat ditoleransi tetapi sedikit perubahan pada
TSS. Akhir-akhir ini, penggunaan kontrol-plasebo dengan menggunakan 2 dosis
berbeda 25 dan 100μg/kg/hari) relaxin menunjukkan dosis rendah untuk
menginduksi perbaikan yang signifikan dari penebalan kulit. Pada dosis tinggi,
tidak terlihat ada efek yang menguntungkan. Efek sampingbyang mungkin timbul
antara lain reaksi pada ginjal yaitu peningkatan serum kreatinin, krisis renal
atau hipertensi
Intravenous
immunoglobulin (IVIg)
Berdasarkan
pada autoimun yang merupakan dasar dari penyakit SSc, intravenous immunoglobulin (IVIg ) merupakan
suatu terapi yang potensial. Berdasarkan teori ini, penelitian pada 3 pasien
yang memperoleh pengobatan dosis tinggi IVIg (2g/kg) dengan penurunan dari TSS.
Berkaitan dengan jumlah sampel yang sangat sedikit, maka hasil ini tidak dpaat
diinterpretasikan. Studi lain menunjukkan 15 pasien mencapai pengurangan
signifikan pada TSS (P<0 .001="" dilakukan="" o:p="" setelah="" terapi.="">0>
Extracorporeal
photochemotherapy (EP)
EP
dilakukan selama 2 hari setiap bulannya yang dibandingkan dengan penggunaan D-penicillamine (750mg/d) in a randomized, parallel-group,
single-blinded pada 79 pasien dengan systemic sclerosis. Pada studi ini, extracorporeal
photochemotherapy menunjukkan tingkat perbaikan yang signifikan pada TSS (p=0.02).
Studi penggunaan D-penicillamine pada
pasien selama 10 bulan menunjukkan perbaikan TSS dan peningkatan rata-rata
perbaikan kondisi kulit. Efek samping yang cukup tinggi ditemukan pada
penggunaan
D-penicillamine.
Hasil ini dikonfirmasi dengan studi lain
randomized, double-blind, placebocontrolled pada 4 orang pasien, menghasilkan
perbaikan kulit yang signifikan. Studi ini diobservasi selama 6 bulan (P=0.0024) dan 12 bulan (P=0.008). Tetapi,
perbandingan pada skor kulit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara
statistik pada kedua kelompok.
Factor
XIII (FXIII)
Fungsi
dari faktor XII adalah sebagai cross-link fibrin dan melindungi ini dari
aktifitas fibrinolitik plasmin. Penggunaanya menunjukkan penurunan sintesis
kolagen dan peningkatan degradasi dari sintesis kolagen. Suatu studi double-blind, randomized, crossover
study
pada pasien yang mendapatkan FXIII,menunjukkan perbaikan pada 50 pasien.
Tetapi, bagaimanapun juga perbaikan kutaneus merupakan efek yang paling
menguntungkan dari terapi ini.
Anti-TNF
therapy
Akhir-akhir
ini, banyak studi yang mengevaluasi efek dari obat anti-TNF. Keduanya, etanercept
and infliximab menunjukkan efektifitas dari pengobatan pada artritsi yang
berhubungan dengan SSc. Tetapi, efek pada TSS tidak dapat ditentukan dengan
pasti.
Imatinib
Penggunaan
potensial dari obat ini adalah sebagai penghambat terjadinya fibrosis.
Fungsinya adalah sebagai penghambat spesifik dari enzim tyrosine kinase seperti
transforming growth factor beta (TGFb) dan platelet-derived growth factor
(PDGF) pathways. Penggunaan imatinib
menunjukkan penurunan sintesis basal dari COL1A1, COL1A2, dan fibronectin 1 messenger
RNA in SSc. Hasilnya menunjukkan adanya
inhibisi pada proliferasi dermal normal dan fibroblas scleroderma. Penggunaan
imatinib tidak hanya menunjukkan perbaikan pada penebalan kulit, tetapi juga
fungsi dari paru.
Rituximab
Rituximab
merupakan antibodi chimeric monoclonal yang menghambat proliferasi
CD20-mediated B-cell. Suatu laporan kasus menunjukkan rituximab mungkin efektif
bagi pengobatan SSc serta peningkatan TSS dan perbaikan fungsi paru.
CALCINOSIS
Deposisi
abnormal dari kalsium pada jaringan lunak tergantung dari kadar kalsium dan
fosfor dalam serum yang sering ditemukan pada pasien sklerosis sistemik ataupun
penyakit autoimun lainnya. Kalsifikasi distrofik pada ekstremitas merupakan
tipe kalsinosis yang sering terjadi pada sistemik sklerosis. Terjadi pada 25%
dari 94 pasien yang menyebabkan timbulnya nyeri, inflamasi lokal, iritasi,
atrofi otot, infeksi sekunder dan kontraktur sendi. Prosesnya sering didahului
oleh ketidakmampuan yang sifatnya berat dan meningkatkan angka morbiditas.
Meskipun banyak hipotesis yang menjelaskan kehadiran kalsinosis pada sistemik
sklerosis, mekanisme patofisiologi bertanggung jawa pada perkemabngan dari penyakit
ini. Jumlah terapi yang menunjukkan efektifitas pada penggunaan jangka panjang
sangat sedikit. Beberapa terapi menggunakan variasi lain yaitu include
coumadin, colchicine, biphosphonates, diltiazem, minocycline, aluminum
hydroxide, surgical excision, dan CO2 laser. Terapi terbaru yang mungkin
dilakukan adalah IVIg, extracorporeal shock
wave lithotripsy, fetuin-A (a-2-Heremans-Schmid glycoprotein, AHSG), dan
preparasi topikal dari myoinositol hexaphosphate
(InsP6, phytate).
Pharmacological
treatment
Warfarin
Berger
et al melaporkan warfarin dosis rendah (1mg/hari) selama 18 bulan menunjukkan
efek yang menguntungkan pada pasien kalsinosis kutis. Mereka juga memiliki
hipotesis bahwa warfarin berperan dalam penurunan kalsinosis sejak proses ini
menghambat the carboxylation of glutamine, kemudian menghambat formation of
g-carboxyglutamic acid. Obat ini berguna pada pasien dengan onset kalsinosis
yang baru.
Aluminum
hydroxide
Mekanisme
kerjanya yaitu mengurangi klasium fosfat plasma dengan cara meminimalisir
absorbsi pada traktus gastrointestinal. Efek samping yang mungkin timbul yaitu
konstipasi.
Minocycline
Derivat
tetracycline digunakan pada ilmu dermatologi sebagai antibiotik dan anti
inflamasi. Pada kasus kalsinosis kutis, alasan penggunaan minocycline adalah
karena mempengaruhi fungsi osteoklas. Selain itu, juga berperan menghambat
produksi kolakgenase dan neutrophil matrix metalloproteinases (MMP). Studi lain menunjukkan sejak timbul plak
kalsinosis, antibiotik berperan dalam perbaikan lesi. Studi yang dilakukan
Robertson et al, 9 pasien dengan SSc fokal diterapi dengan 50-100 mg
minocycline/hari selama 3.5 tahun. Inflamasi, ulserasi, dan ketidaknyamanan
pasien berhubungan dengan penurunan lesi pada 8 orang pasien. Ukuran plak juga
berkurang, meskipun terjadi sangat lambat.
Diltiazem
Meskipun
penggunaan calcium channel blocker bagi Raynaud’s phenomenon direkomendasikan,
sangat sedikit laporan tentang kalsinosis yang dapat diterapi dengan
menggunakan golongan ini. Penggunaan diltiazem pada kalsinosis dpaat mengurangi
jumlah kalsium yang masuk melalui kanal ion kalsium. 12 pasien yang didagnosis
dengan kalsinosi pada SSc yang diterapi dengan diltiazem 180mg/hari hanya 3
orang pasien yang menunjukkan perbaikan radiologi. Percobaan lain menunjukkan
dosis tinggi yang digunakan (240 vs 480 mg/ hari) mendapatkan hasil yang lebih
baik. Laporan terakhir menunjukkan pada pasien SSc muda yang diobati dengan
total 90mg diltiazem tiga kali sehari yang dikombinasikan dengan alumunium
(830mg) atau magnesium hydroxide (185mg) 15mL tiga kali sehari. Perbaikan
terjadi dalam dua bulan dan setelah satu tahun, ukuran dan indurasi dari plak
kalsifikasi berkurang secara signifikan. Setelah 6 tahun terapi, lesi hampir
menghilang.
Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg merupakan produk plasma yang merupakaderivat dari antibodi
yang efektif digunakan pada beberapa kelainan sistem imun. Berdasarkan pada
laporan dermatomyositisassociated, kalsinosis sukses diterapi dengan IVIg. Schanz
et al melakukan terapi pada CREST
syndrome dengan dosis 2g/kg IVIg selama 4 hari. Marker lesi menunjukkan
perbaikan ketika memasuki siklus ketiga pengobatan. Studi lain yang dilakukan
oleh Kalajian et al tidak menunjukan hasil yang sama
Fetuin-A (a-2-Heremans-Schmid glycoprotein, AHSG)
Glikoprotein ini mempunyai peran penting dalam inhibisi
kalsifikasi. Yang mengukur kadar dalam serum 41 orang pasien dengan SSc. Kadar fetuin-A menurun pada 20 pasien yang
mempresentasikan kalsinosis dan semakin menurun pada pasien dengan anticentromere antibodies. Kadar yang rendah
juga ditemukan pada pasien dengan kelainan vaskular
Myo-inositol hexaphosphate (InsP6,
phytate)
Diet jenis ini tergantung kepada
moleku, dimana dapat ditemukan pada bibit tanaman atau cairan pada tubuh dan
jaringan dari mamalia yang merupakan inhibitor poten dari kristalisasu garam
kalsium. Studi menunjuukan 7 tikus dengan kalsinosis plak diterapi dengan menggunakan cream yang mengandung InsP6 dan
dibandingkan dnegan 7 tikus pada kelompok kontrol. Molekul ini diabsorbsi melalui
kulit dan menunjukkan penurunan berat dan ukuran dari deposisi kalsium.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui efek agen ini pada manusia.
Nonpharmacological treatment
Extracorporeal shock wave lithotripsy
(ESWL)
Prosedur invasif minimal ini memiliki
intensitas tinggi pada pasien distrofi calculus. 15 hari setelah sesi pertama,
nyeri dan ulkus berkurang secara signifikan. Setelah dua kali pengobatan,
pasien bebas dari kalsifikasi yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologi. Teknikini menggunakan
ablasi dari lesi dan mencegah kerusakan dari jaringan lain yang tidak terkena.
Chan dan Li juga melaporkan bahwa pengobatan calsinosis berhubungan dengan dermatomyositis
with ESWL. Tidak ada laporan yang mununjukkan kegagalan dengan teknik ini.
Carbon dioxide laser
Penggunaan laser merupakan salah satu alternatif selain eksisi
secara bedah. Hal ini dapat mencegah pasien mengalami kerusakan pada jaringan
yang masih sehat. Selain itu, perdarahan yang akan timbul sedikit dan
mengurangi ketidaknyamanan pasien. Sebagai pengetahuan kita, hanya terdapat 2
laporan yang sukses menggunakan teknik ini untuk terapi kalsinosis.
Pembedahan
Tindakan ini dilakukan jika sudah
terjadi kegagalan pada pengobatan denan obata-obatan atau nyeri yang ditimbulkan
sangat hebat serta lesi yang terlokalisir. Prosedur ini mencakup operasi dan post operasi anestesi.
Keuntungan yang sulit diperoleh yaitu kemungkinan untuk merusak jaringan sehat
lainnya dan memproduksi keadaan iskemik lainnya dengan mendorong kerusakan pada
neurovaskular.
SIMPULAN
Terapi yang optimal bagi sklerosis sistemik adalah merupakan suatu
tantangan karena patogenesis dari SSc tidak begitu jelas dan ini merupakan
suatu penyakit yang jarang terjadi dan memiliki manifestasi klinik yang cukup
heterogen yang mempengaruhi banyak organ. Hal yang paling diutamakan pada
terapi adalah mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi. Tidak ada
terapi yang dapat mencegah progresifitas penyakit secara lengkap dan angka
kekambuhannya cukup tinggi di masyarakat. Penelitian-penelitian terus dilakukan
untuk mengetahui penyakit masih berada dalam fase awal sebelum berkembang
terlalu jauh dan menyebabkan kerusakan organ yang ireversibel. Diagnosis awal
dari sklerosis sistemik akan menentukan terapi awal yang akan diberikan yang
dapat menmperlambat proses perkembangan penyakit. Meskipun tingkat kesembuhan
untuk sklerosis sistemik sangat rendah, tetapi manajemen yang berhubungan
dengan komplikasi dapat meningkakan kualitas hidup pasien. Banyak terapi baru
yang mempunyai organ target yang spesifik yang sedang dikembangkan saat ini.