Penatalaksanaan penyakit Cutaneus Lupus
Erythematosus (CLE) difokuskan setelah dirumuskan regimen terapi topical dan
sistemik yang dirancang untuk mengurangi
aktivitas penyakit dan meminimalisir kerusakan kosmetik. Menghindari paparan
sinar matahari dan tabir surya adalah langkah pencegahan yang terbukti penting
untuk meminimalkan eksaserbasi Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE). Limited
disease seperti ini biasanya diterapi dengan kortikosteroid topical atau
inhibitor calcineurin. Terapi antimalaria adalah standar emas terapi sistemik.
Banyak pengobatan lain telah dipelajari pada pasien-pasien dengan CLE yang
cukup parah, dan penggunaannya harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan asas
manfaat-resiko pada setiap individu. R-salbutamol dan terapi laser telah
terbukti menjadi alternative topical efektif. Agen sistemik tanbahan termasuk
retinoid, imunosupresan, imunomodulator, biologis, dan terapi ekperimental lain
cara baru. Menurut pusat Oxford untuk criteria EBM dalam mengevaluasi kekuatan
bukti yang mendukung langkah terapi, tidak ada terapi untuk CLE yang mencapai
status level 1. Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan penelitian secara acak,
percobaan/eksperimen yang terkontrol, dan tinjauan sistematis terhadap semua
bentuk terapi CLE dalam rangka peningkatan standar dan untuk permintaan praktek
klinis yang berdasarkan pembuktian ilmiah ((J Clin
Aesthet Dermatol. 2013;6(1):27–38.)
Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE)
adalah penyakit terbanyak kedua yang memperlihatkan gejala autoimun lupus
eritematosus. Lesi-lesi mendahului timbulnya gejala sistemik pada 25% pasien,
banyak diantaranya datang ke ahli kulit (dermatologist) untuk pemeriksaan awal.
Diagnosis CLE memerlukan pemahaman menyeluruh dari manifestasi kulit dan
spectrum klinis lupus. Skema klasifikasi “Gilliam” membedakan LE- spesifik CLE
berdasarkan adanya dermatitis/……lesi kulit LE-khusus dibagi menjadi tiga
kategori berikut : CLE akut (ACLE), Subakut CLE(SCLE), dan kronis CLE (CCLE).
Selanjutnya, subdivisi dari CCLE termasuk discoid LE (DLE), dan lesi LE
spesifik lainnya, termasuk chilbail LE, LE tumidus (LET), dan LE panniculitis
yang menyebabka penyakit kulit yang tidak berhubungan dengan dermatitis
Jumlah ACLE sekitar 6.1 % dari
pasien-pasien dengan CLE dan yang ditandai dengan “butterfly rash (ruam
berbentuk kupu-kupu)” melapisi pipi malar dan hidung. Ruam merupakan reaksi
fotosensitif dan sangat terkait dengan dengan eksaserbasi SLE. Lesi biasanya sembuh
tanpa jaringan parut meskipun area yang terkena infeksi (post-inflammatory) kemungkinan akan terjadi penurunan pigmentasi
secara persisten. Beberapa pasien dengan CLE, sekitar 18.4% didiagnosis dengan
SCLE. Pasien –pasien yang mengalami reaksi fotosensitivitas ditandai dengan
lesi annular dan papulosquamous secara dominan pada area yang terpapar sinar
matahari. Sebagian pasien-pasien dengan SCLE memiliki empat (4) atau lebih
diagnosis klinis dari SLE, dan 70%
menunjukkan hasil yang positif untuk uji antibody anti-Ro. Lesi-lesi
akan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi hipopigmentasi dan
telangiektasis sering dikeluhkan. DLE adalah bentuk paling umum dari CCLE dan
memperngaruhi 67.5% dari semua pasien dengan CLE. Pada DLE ditemukan klinis sebagai
eritematosus,plakat berbentuk koin dengan hyperkeratosis di tengahnya. Sekitar
70% kasus terbatas pada kepala, kulit kepala dan jarang berhubungan dengan
penyakit sistemik. Diagnosa dibuat berdasarkan temuan klinis berupa eritema,
penyumbatan folikel (folikutis), fotosensitivitas, dispigmentasi,
telangiektasis, dan atrofi kulit. Yang membedakan dengan SCLE, jaringan parut
dan atrofi kulit merupakan ciri khas pada DLE.
Penatalaksanaan
penyakit Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) difokuskan setelah dirumuskan
regimen terapi topical dan sistemik yang
dirancang untuk mengurangi aktivitas penyakit dan meminimalisir kerusakan
kosmetik. Dosis penyesuaian mungkin diperlukan selama perawatan karena sifat
aktivitas CLE yang kadang tidak bisa diprediksikan. Meskipun resiko gabungan
perubahan menjadi SLE pada pasien-pasien
dengan SCLE dan DLE adalah sekitar 12.2%, hampir semua pasien dengan CLE harus
dievaluasi sejak dini dan dilakukan tindak lanjut (follow up) terhadap
munculnya tanda-tanda penyakit sistemik ( arthralgia, serositis, ulkus oral,
penyakit ginjal, dan anemia)
Saat
ini, tidak ada obat yang telah disepakati secara khusus terkait terapi CLE. Banyak
obat yang dijelaskan dlam literature yang diizinkan untuk diresepkan sama untuk
setiap subtipe CLE. Ulasan ini menyimpulkan pilihan terapi terkini untuk CLE
dan penelitan penelitian dari literatur yang mendukung keabsahan penelitian
tersebut. Informasi terbaru adalah termasuk pada tindakan pencegahan, terapi
local, sistemik, eksperimental, terapi yang kontroversi. Karena penekanan
terhadap praktek klinis yang berdasarkan bukti ilmiah, kekuatan penelitian yang
menunjukkan manfaat terapeutik dari setiap perlakuan telah dievaluasi
berdasarkan criteria yang diterbitkan oleh Pusat EBM Oxford (tabel 1).
Implikasi dari skema klasifikasi tersebut dimanfaatkan untuk penerapan klinis
dari intervensi terapeutik sebelumnya yang akan dibahas pada akhir pembahasan.
PENCEGAHAN
Ultraviolet A (UVA) dan B (UVB)
telah terbukti menimbulkan lesi pada pasien dengan CLE. Dengan hal tersebut,
edukasi pasien tentang menimalisir paparan sinar matahari dan sinar UV adalah
bagian penting dari rencana perawatan. Kuhn et al, merekomendasikan pasien
dengan CLE menghindari berjemur, tanning salon, perjalanan ke daerah yang dekat
khatulistiwa, pekerjaan di luar ruangan, dan bola lampu dengan radiasi UV yang
tinggi. Perlindungan secara rutin dengan tabir surya telah dikaitkan dengan
hasil klinis yang lebih baik pada SLE. Pasien harus menggunakan tabir surya
dengan SPF (Sun protection Factor) 50 atau lebih dalam jumlah yang memadai (2
mg/cm2 ) setidaknya digunakan
sekitar 20-30 menit sebelum terkena paparan. Rekomendasi ini didukung oleh
…acak terkontrol, antar perorangan, komparatif/perbandingan, penelitian double blind, juga oleh Kuhn et al,
menunjukkan 100% perlindungan dari radiasi UVA dan UVB pada 25 orang pasien CLE
dengan fotosensitivitas yang menggunakan tabir surya spektrum luas. Pada
penambahan, sumplemen Vitamin D (400IU/hari) seharusnya selalu dipertimbangkan
pada pasien untuk menghindari paparan sinar matahari.
TERAPI TOPIKAL
Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid
topikal secara efektif mengurangi gejala peradangan di semua jenis CLE.
Meskipun dalam penggunaan klinis, percobaan acak-terkontrol menunjukkan dimana
kortikosteroid potensi tinggi (fluocinonide cream 0.05%) lebih efektif daripada
kortikosteroid potensi rendah (Hidrocortison 1%) pada 78 pasien dengan DLE.
Kortikosteroid topical diketahui menyebabkan atrofi, telangiektasis, dan
dermatitis (rosasea) yang diinduksi steroid dalam penggunaan yang lama. Untuk menimalkan efek samping, kortikosteroid
topical harus diresepkan pada potensi yang terendah yang diperlukan untuk
mencapai status resolusi dalam waktu sesingkat mungkin. Secara umum, kortikosteroid
potensi rendah-sedang (misalnya metilprednisolon) sebaiknya digunakan pada
wajah, potensi sedang (misalnya triamcinolone acetonide, betamethasone
valerate) pada badan dan ekstremitas, dan kortikosteroid potensi tinggi (misalnya
: clobetasol) pada telapak tangan dan kaki dimana kulit pada area tersebut
kulit yang cukup tebal. Terapi intralesi dengan 2.5-10mg/mL triamcinolone
solusio digunakan pada pasien dengan DLE local yang refrakter terhadap
pengobatan lain. Injeksi dibutuhkan keterampilan untuk menghindari atrofi
subkutan.
Penghambat Kalsineurin (Calcineurin Inhibitor)
Karena
efek samping yang tidak diinginkan dari kortikosteroid topical, penghambat
kalsineurin, takrolimus, pimekrolimus telah dipelajari potensinya untuk terapi
jangka panjang pada pasien CLE. Obat-obat dalam golongan ini bekerja dengan
menbentuk kompleks dengan makrofilin-12 yang menghambat kalsineurin melalui
defosforilasi faktor transkripsi nuclear yang diaktivasi oleh sel T(NF-AT).
Fosoforilasi NK-AT bertanggung jawab atas transkripsi dari banyak modulator
peradangan dengan sel T. Sejak laporan pertama sukses dengan penghambat
kalsineurin dalam pengobatan lesi kulit lupus eritematosus pada tahun 2002,
beberapa penelitian telah menunjukkan keberhasilan mereka dalam efektivitasnya
pada pasien CLE. Efek samping terbatas terbakar “burning” yang sifatnya
sementara, eritema, dan iritasi. Tanpa resiko atrofi kulit, penghambat
kalsineurin sangat efektif pada daerah
kulit yang sensitif yaitu, wajah, leher, area intertriginosa/lipatan tubuh.
Takrolimus tersedia dalam bentuk salep 0,1% dan 0.03% dipertimbangkan
penggunaanya untuk dermatitis atopic dan telah memiliki label sukses dalam
mengobati psosiaris, liken planus, pioderma gangrenosum, dan CLE. Pada
penelitian acak terkontrol, 20 orang pasien dengan CLE ( 13 ruam malar SLE, 4
DLE, 1 SCLE) diobati dengan takrolimus 0.1% dan
salep clobetasol dipropionate
0.05 digunakan pada satu bagian wajah dua kali sehari selama sebulan.
Peningkatan CLE diamati pada kedua kelompok dengan perlakuan yang sama, dan
tanpa perbedaan yang signifikan dalam keberhasilan secar keseluruhan.
Namun,sebanyak 61% pasien yang diobati dengan steroid, mengeluhkan adanya
telangiktasis, sebuah temuan yang menyoroti efek samping steroid dibandingkan
takrolimus.
Pada tahun 2011, sebuah penelitian,
mengevaluasi efektivitas salep takrolimus 0.1% pada 20 orang pasien yang dioati
dua kali sehari selama 12 minggu. Terjadi peningkatan signifikan, ditemukan
eritema dan edema pada lesi yang diobati setelah 28 dan 56 hari , tapi tidak
tidak setelah 84 hari bila dibandingkan denga lesi yang diobati vehikulum.
Paling tidak perbaikan didapatkan pada pasien yang lebih tua, dan lesi DLE
hyperkeratosis. Tidak ada efek samping utama yang dilaporkan. Temuan penelitian
ini menunjukkan takrolimus memberikan manfaat terutama pada fase akut, edema,
dan lesi CLE nonhiperkeratosis. Penelitian lain baru-baru ini juga menemukan
takrolimus 0.3% dalam kombinasi dengan clobetasol propionate 0.05% mungkin
lebih efektif dari monoterapi menggunakan salep takrolimus 0.1% dalam
pengobatan CLE yang cukup parah.
Pimekrolimus
memiliki aktivitas fungsional yang sama seperti takrolimus, tetapi lebih
lipofilik, memiliki afinitas yang tinggi terhadap epidermis, penetrasi yang
lebih rendah ke dalam kulit, resorbsi rendah. Zabawski untuk pertama kalinya
menggambarkan peningkatan pada seorang pasien wajah DLE yang diobati dengan
krim pimekrolimus 1%. Pada tahun 2007, sebuah penelitian double blind,
penelitian dengan menggunakakan placebo mengevaluasi penggunaan krim
pimekrolimus 1% pada pasien CLE. Dua puluh lima (25) pasien dengan DLE atau
SCLE yang diobati dua kali sehari selama sebulan dan dievaluasi skor kulit yang
berdasarkan eritema, infiltrasi, scaling., diameter lesi. Terapi dipertahankan
dengan baik dan skor kulit berkurang setelah sebulan terapi dari rata-rata 5.5
hingga menjadi 2.8
Sebuah
penelitian double blind secara acak, penelitian terkontrol tahun 2009,
membandingkan efektivitas pimekrolimus krim 0.1% dengan betamethasone17-valerat
krim 0.1% pada 10 orang pasien dengan wajah DLE, dioleskan ke satu sisi wajah
dua kali sehari selama delapan minggu, dan hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan hasil pada kedua kelompok dan menunjukkan pimekrolimus krim 0.1% sama
efektifnya dengan betamethasone17-valerat 0.1% krim dalam mengobati pasien DLE.
Beberapa
penelitian di atas, menunjukkn bahwa penghambat kalsineurin sebanding dengan
kortikosteroid topikal dalam pengobatan CLE, sedikitnya efek samping yang
ditimbulkan menunjukkan penghambat kalsineurin sebagai terapi topikal yang
sangat tepat pada lesi CLE.
R-salbutamol
R-salbutamol
adalah adrenergic agonis resptor B2, umumnya digunakan dalam pengobatan asma.
Sebagian besar dikatkan dengan aktivasi reseptor b2 pada sel CD4, monosit,
makrofag, dan sel langerhans. Sel-sel ini menghambat reseptor B2 yang
mentranskripsi gen inflamasi dan produksi interleukin (IL-2) dan gamma interferon. Pada tahun 2009, sebuah
penelitian multicenter secara acak placebo, pada 37 orang pasien dengan
setidknya satu lesi baru DLE secara acak diobati dengan R-salbutamol krim 0.5%
(n=19) atau placebo (n=18) dua kali sehari selama delapan minggu, dan
menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengobati scaling/hipertrofi, nyeri,
gatal, koreng, bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak ada efek samping yang
dilaporkan. Penelitian ini, dan peneliatin sebelumnya menunjukkan R-salbutamol
mungkin menjadi alternatif terapi topikal baru yang efektif untuk DLE.
Terapi Fisik
Keberhasilan
terapi telah dilaporkan dengan menggunaka laser dan krioterapi pada pasien
dengan CLE. Meskipun penggunaan argon
dan laser karbondioksida telah didomentasikan dalam beberapa lapran kasus,
beberapa studi kasus mendukung efektivitas terapi laser (PDL), dikaitkan denga
kehancuran selektif pembuluh darah dalam kulit yang diikuti oleh modulasi
inflamasi dan efek regresi. Efek samping PDL terbatas pada hipopigmentasi
local, hiperpigmentasi sementara, dan sedikit skar.
Dalam
sebuah penelitian, tahun 1999, sebuah tingkat clearance dari 70 pasien diamati
pada Sembilan orang pasien DLE yang mengikuti terapi PDL. Analisis klinis
menunjukkan perbaikan dalam telangiktasis, eritema, hyperkeratosis, jaringan
parut, pigmentasi, tapi tidak ada atrofi. Evaluasi histopatologi menunjukkan
penurunan tajam dalam limfositik dermis. Penelitian kolektif menunjukkan bahwa
PDL adalah salah satu pengobatan yang efektif untuk DLE, terutama DLE kronis
TERAPI SISTEMIK
Terapi Anti Malaria
Terapi
sistemik lini pertama untuk pasien dengan semua subtype CLE adalah penggunaan
obat antimalaria oral. Aktivitas anti-inflamasi anti-malaria pada CLE tidak
diketahui, namun dikaitkan dengan sifat lisosomotropik, gangguan presentasi
antigen, dan penghambatan sitokin pro-inflamasi (misalnya IL-1, Il-2,
TNF-alpha). Penggunaan anti-malaria pada CLE pertama kali dilaporkan pada tahun
1894 dengan keberhasilan pengobatan DLE dengan chinine. Saat ini,
hidrokloroquin(HQ) dan kloroquin (CQ) dan kina adalah anti malaria yang paling
umum digunakan dalam pengobatan CLE. Kontraindikasi terhadap terapi anti
malaria mencakup pasien dengan hipersensitivitas terhadap 4-amino-kuinolon,
retinopati, gangguan hematopoetik, defisiensi glukosa-6-fosfat, dan miastenia
gravis.
HQ telah disebut pedoman terapi lupus karena kejadian efek samping tergolong rendah dibandingkan dengan klorokuin.
Pada tahun 1992 , secara acak, double – blind, penelitian terkait efektivitas HQ terhadap acitretin pada pasien dengan berbagai jenis CLE.
Tiga puluh pasien yang menerima 400mg/day HQ menunjukkan peningkatan 50 persen dan efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan dengan yang menerima 50mg/day dari acitretin,
terjadi peningkatan 46
persen dalam 28 pasien.
Kemanjuran CQ ditunjukkan dalam prospektif, double-blind, acak, percobaan
terkontrol tahun 2005. Tujuh belas pasien diobati dengan 250mg/day CQ dan 16
dengan dalam100mg/hari klofazimin selama enam bulan . Pasien yang diobati
dengan CQ dan klofazimin,82,4 dan 75 persen, masing-masing memiliki remisi total atau sebagian terhadap lesi kulit. Efek samping gastrointestinal yang sering
terjadi pada
kedua kelompok dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
hasi, terbukti baik untuk pengobatan. Meskipun efek samping yang paling umum dari terapi
antimalaria adalah
xerosis dan hiperpigmentasi kulit, toksisitas okular adalah yang sering
terjadi .
Dosis harian maksimum terkait HQ dan CQ terutama terkait
dengan toksisitas kemampuan melihat. Namun, jika dosis benar, terapi berkepanjangan membawa
risiko minimal menginduksi retinopati. Rekomendasi dosis maksimum pada orang dewasa adalah
6,0-6,5 dan 3,5 untuk 4.0mg/kg berat badan ideal untuk HQ
dan CQ , masing-masing. Berat badan ideal dihitung dengan menggunakan persamaan
: [ ( panjang tubuh ( cm ) -100 ) -10 % ] pada pasien laki-laki dan [ ( panjang
tubuh ( cm ) -100 ) -15 % ] untuk pasien perempuan.
HQ memiliki risiko yang lebih rendah
untuk toksisitas retina daripada CQ,
tetapi kurang efektif. Efek samping lain dari HQ dan CQ adalah gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat, perubahan warna rambut ,miopati,
pruritus, dan hiperpigmentasi kulit, kuku, dan selaput lendir
Keberhasilan
Quinacrine telah ditunjukkan dalam mengobati CLE oleh beberapa penelitian pada pertengahan abad ke-20.
Namun, karena risiko penekanan
sumsum tulang dan perubahan warna
kuning pada kulit dan mukosa, penggunaannya berkurang
dalam mendukung HQ dan CQ. Meskipun kemanjuran
HQ dan CQ pada
CLE, penggunaannya dibatasi
oleh risiko dari
retinopati irrevesibel dan tidak boleh diresepkan bersama-sama.
Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa terapi kombinasi HQ
atau CQ dengan
quinacrine, yang tidak memiliki toksisitas retina, memiliki
khasiat sinergis tanpa peningkatan risiko retinopati.
Efek sinergis dari terapi kombinasi juga
telah dilaporkan untuk pasien di
HQ atau CQ
dalam kombinasi dengan inhibitor kalsineurin, methotrexate,
dapson, dan mycophenolate
mofetil (Tabel 2).
Studi lebih lanjut
diperlukan untuk
meneliti penggunaan terapi
kombinasi dalam terapi CLE.
Saat ini, dalam100mg/hari quinacrine disarankan sebagai
adjuvant pada HQ dan CQ pada pasien
dengan penyakit yang sulit disembuhkan atau sebagai monoterapi pada pasien dengan perubahan okular atau kontraindikasi
lain untuk HQ atau
CQ.
Meskipun rekomendasi dalam literatur untuk evaluasi
laboratorium rutin pasien pada terapi antimalaria ini belum terbukti menjadi
ukuran sangat hemat biaya. Namun, karena risiko retinopati, persetujuan dari dokter mata dianjurkan
sebelum memulai terapi. Pasien yang memakai antimalaria harus diperhatikan
bahwa obat membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mencapai efek penuh ( 4-6
minggu untuk HQ dan CQ , 6-8 minggu untuk quinacrine ) dan mengendap di jaringan selama beberapa bulan setelah penghentian
obat. Perokok mengalami penurunan respon terhadap terapi antimalaria Oleh
karena itu, berhenti merokok disarankan untuk semua pasien CLE dan terutama
mereka yang menerima terapi antimalaria.
Kortikosteroid Sistemik .
Terapi jangka panjang dengan
kortikosteroid sistemik dihindari
pada pasien CLE karena risiko terkena
diabetes, osteoporosis, dan sindrom Cushing. Namun, kortikosteroid oral bermanfaat untuk onset cepat dalam mengobati lesi yang sangat akut atau sebagai jembatan terapi
sampai obat antimalaria mencapai tingkat terapeutik. Umumnya, dosis standar 0,5 sampai 1.0mg/kg/hari adalah meruncing setelah 2 sampai 4 minggu terapi
Retinoid Oral
Acitretin dan isotretinoin diklasifikasikan sebagai
terapi lini kedua untuk pengobatan CLE oleh American
Academy of Dermatology Guidelines.
Retinoid biasa digunakan untuk pengobatan jerawat,
psoriasis, dan limfoma sel T. Keberhasilan penggunaan pertama dari vitamin A derivatif dalam pengobatan CLE dilaporkan
menggunakan etretinate pada tahun 1985.
Acitretin sejak telah menggantikan etretinate karena
waktu paruhnya
yang pendek. Penggunaan acitretin
di CLE dilakukan secara acak, doubleblind penelitian multicenter yang disebutkan
sebelumnya di
mana 50mg/hari dari acitretin
berhasil dalam mengobati 28 pasien dengan CLE dibandingkan HQ 400mg/hari pada 30 pasien. Retinoid
sangat berguna pada pasien dengan lesi hipertrofik pada telapak tangan dan
kaki. Pengobatan DLE
dan SCLE dengan isoretinoin telah dilaporkan pada sekitar 50 pasien dengan
tingkat keberhasilan hingga 86,9 persen.
Dosis yang
dianjurkan untuk acitretin dan isotretinoin pada CLE adalah 0,2 sampai 1.0mg/kg berat badan / hari. Efek samping
yang umum termasuk xerosis dan xerophthalmia sementara, gangguan pencernaan, toksisitas tulang, rambut
rontok, depresi, pseudotumor cerebri, mialgia, dan artralgia lebih sering terjadi. Isotretinoin
dan acitretin keduanya teratogenik dan potensi untuk kehamilan harus hati-hati
dinilai pada pasien perempuan. Kontrasepsi diperlukan sebelum dan sesudah
perlakuan ( 1
bulan untuk
isoretinoin, 2 bulan untuk acitretin) untuk memastikan pengeluaran obat seluruhnya dari tubuh. Hiperlipidemia
dan hepatotoksisitas juga biasa
terjadi dengan penggunaan retinoid karena efeknya pada metabolisme lipid. Oleh karena
itu, risiko dan manfaat terapi retinoid harus dipertimbangkan pada pasien
dengan dislipidemia, diabetes, sindrom metabolik, dan faktor risiko kardiovaskular
lainnya.
IMUNOSUPRESAN
Methotrexate
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah
analog asam folat yang menghambat reduktase dihydrofolate enzim dan,
sebagai akibatnya, menyebabkan proliferasi sel T. MTX dikenal untuk
digunakan dalam rheumatoid arthritis dan pertama kali dipertimbangkan untuk pengobatan SLE pada tahun 1965. Penggunaan MTX sebagai terapi lini kedua pada pasien CLE
refrakter terhadap terapi antimalaria
telah didukung
selama 15 tahun terakhir dalam
literatur. Dosis yang dianjurkan saat ini adalah 7,5
sampai 25mg diberikan melalui
injeksi subkutan selama lima hari dalam seminggu.
Efek samping dari MTX termasuk gangguan pencernaan, toksisitas sumsum tulang, nefrotoksisitas, hepatotoksisitas, dan pneuomonitis interstitial. Pengganti Folat diperlukan dengan pengobatan serta pemantauan laboratorium rutin untuk sumsum tulang dan hepatotoksisitas.
Efek samping dari MTX termasuk gangguan pencernaan, toksisitas sumsum tulang, nefrotoksisitas, hepatotoksisitas, dan pneuomonitis interstitial. Pengganti Folat diperlukan dengan pengobatan serta pemantauan laboratorium rutin untuk sumsum tulang dan hepatotoksisitas.
Sebuah
analisis
retrospektif tahun 1998 dari 12 pasien dengan berbagai subtipe CLE ( 6
SCLE , 4 DLE, 1 lupus erythematosus panniculitis , 1
kaligata lupus) meneliti efek dari 10 sampai 25mg intravena ( IV ) atau oral MTX. Enam pasien menunjukkan remisi total lesi CLE, empat mencapai remisi parsial, dan dua tidak respon. Lima pasien mencapai remisi lama 5-24 bulan setelah
terapi.
Penelitian retrospektif lain meneliti efektivitas dan keamanan MTX pada CLE yang cukup parah. Empat puluh tiga pasien dengan berbagai subtipe CLE
diperlakukan dosis rendah IV atau lisan MTX dengan.
Sembilan puluh delapan persen menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam aktivitas penyakit. Peningkatan yang paling diamati pada
pasien dengan DLE dan SCLE. Tujuh pasien menghentikan pengobatan karena efek
samping : empat mengalami peningkatan enzim hati, dua mengalami mual, dan satu
panleukocytopenia setelah penghentian MTX. Saat ini , MTX dianjurkan sebagai
pengobatan lini kedua untuk SCLE dan lokal DLE tidak tahan pada terapi
antimalaria
Mofetil Mycophenolate Dan Natrium .
Mofetil Mycophenolate (
MMF ) adalah kompetitif inhibitor spesifik, reversibel inosin monofosfat dehidrogenase.Penurunan aktivitas
enzim ini mempengaruhi proliferasi B dan limfosit T dan langsung menginduksi
apoptosis
limfosit T
aktif. Laporan kasus
telah menunjukkan MMF efektif dalam penyakit kulit autoimun bulosa, lupus
nefritis,dan berbagai subtipe CLE. MMF adalah ditoleransi dengan baik dan hasil klinis yang
dicapai dalam 1 sampai 2 bulan dengan dosis 1 sampai 3g/day. Efek samping yang
paling umum adalah gejala gastrointestinal, infeksi saluran kemih, dan
imunosupresi.
Pemantauan laboratorium
rutin untuk hematologi, ginjal, dan toksisitas hepar diperlukan.
Sebuah penelitian tanpa acak tahun 2007 menilai efektivitas mycophenolate natrium,
bentuk entericcoated dari MMF, pada 10 pasien dengan SCLE refrakter terhadap terapi
antimalaria.
Hasil yang luar
biasa dicapai dengan 1.440 mg / hari MMF monoterapi selama tiga bulan . Tidak
ada efek samping serius yang dilaporkan. Penggunaan MMF sebagai adjuvant untuk terapi lain yang
dipelajari dalam penelitian retrospektif 2011 pada 24 pasien
dengan berbagai subtipe
CLE . Dosis rata-rata
akhir MMF adalah 2.750 mg / hari . Seratus persen pasien menunjukkan perbaikan
dan 62 persen mencapai resolusi lengkap atau mendekakti lengkap dari lesi CLE. Terapi dipertahankan dengan baik
dan waktu yang berarti respon awal adalah 2,76 bulan . Efek menguntungkan dari
MMF dalam kombinasi dengan HQ yang disorot dalam serangkaian kasus baru-baru
tiga pasien dengan CLE cukup parah. Dosis MMF dari
1.000 menjadi 1.500 mg / hari yang efektif dalam 5,6 minggu . Meskipun efektif
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan obat lain untuk penyakit yang sulit disembuhkan, perlu penelitian lebih banyak lagi untuk
mengidentifikasi lebih lanjut peran MMF dalam pengobatan CLE
Azathioprine .
Azathioprine
adalah prodrug dari 6 - mercaptopurine,
purin antimetabolit dengan aktivitas sitotoksik dan imunosupresif dikaitkan
dengan gangguan asam nukleat dalam fase-s dari siklus sel. Efek samping termasuk toksisitas sumsum tulang,
hepatotoksisitas, dan gejala gastrointestinal.
Sekitar 10 pasien dengan CLE dalam literatur telah
berhasil diobati dengan azathioprine. Terapi dosis berkisar antara 1 dan 2.5mg/kg berat badan /
hari dan membutuhkan pemantauan laboratorium rutin untuk toksisitas hematologi
dan hati. Kadar thiopurine enzim methyltransferase harus dinilai sebelum terapi
karena kekurangan obat tersebut adalah terkait dengan risiko yang lebih tinggi toksisitas
hematopoietik. Karena
sisi profil efek yang besae, kurangnya penelitian, dan biaya yang cukup mahal, penggunaan azathioprine pada CLE dialternatifkan untuk pasien dengan lesi yang
berhubungan dengan SLE .
Klofazimin
Klofazimin adalah antibiotik dengan aktivitas
antiinflamasi dan imunosupresif tradisional digunakan dalam pengobatan kusta.
Efek samping yang umum termasuk perubahan warna coklat kemerahan pada kulit,
kulit kering, mual, dan diare.
Pertama kali clofazimin digunakan untuk mengobati CLE adalah dalam penelitian tahun 1974 di mana 65 persen dari 26 pasien dengan DLE berhasil diobati. Penelitian secara acak, double - blind, Amore terakhir dilakukan perbandingan dengan
khasiat clofazimin 100m, 250mg untuk CQ pada 33 pasien dengan lesi SLE aktif.
Sebuah respon yang baik tercatat pada 75 dan 82,4 persen pasien yang diobati dengan klofazimin dan CQ. Meskipun klofazimin sama efektifnya dengan CQ dalam mengendalikan lesi kulit SLE, lima pasien dengan lesi serius ditarik dari penelitian. Karena ketidakmampuan untuk menentukan apakah ada risiko klofazimin merangsang lesi CLE, klofazimin hanya diindikasikan pada pasien dengan manifestasi eksklusif penyakit kulit
Pertama kali clofazimin digunakan untuk mengobati CLE adalah dalam penelitian tahun 1974 di mana 65 persen dari 26 pasien dengan DLE berhasil diobati. Penelitian secara acak, double - blind, Amore terakhir dilakukan perbandingan dengan
khasiat clofazimin 100m, 250mg untuk CQ pada 33 pasien dengan lesi SLE aktif.
Sebuah respon yang baik tercatat pada 75 dan 82,4 persen pasien yang diobati dengan klofazimin dan CQ. Meskipun klofazimin sama efektifnya dengan CQ dalam mengendalikan lesi kulit SLE, lima pasien dengan lesi serius ditarik dari penelitian. Karena ketidakmampuan untuk menentukan apakah ada risiko klofazimin merangsang lesi CLE, klofazimin hanya diindikasikan pada pasien dengan manifestasi eksklusif penyakit kulit
IMUNOMODULATOR
Dapson
Dapson
Dapson adalah sulfon yang menghambat sintesis asam dihidrofolik dan perannya juga yeng memiliki sifat antibiotik dan antiinflamasi. Indikasi utama dapson
oral adalah
penggunaannya untuk dermatitis herpetiformis, meskipun telah
digunakan untuk mengobati berbagai gangguan dermatologis lainnya. Tiga seri
kasus kolektif menunjukkan peningkatan 35 persen dari 55 pasien CLE diobati
dengan dapson oral.
Dosis terapi berkisar dari 25 sampai 150mg/hari. Pengobatan terbatas pada dosis efektif terendah mengurangi risiko hemolisis dan methemoglobinemia. Sebelum memulai terapi dengan dapson, pasien disarankan untuk diperiksa defisiensi glukosa - 6 -fosfat. Efek samping lain termasuk reaksi hipersensitivitas dengan gejala jenis mononukleosis, berpotensi fatal agranulositosis, dan neuropati motorik akral. Risiko efek samping hematologi yang terbesar dalam tiga bulan pertama terapi dan jumlah darah lengkap harus diperoleh secara rutin selama waktu ini. Meskipun potensi efek samping yang berisiko, dapson dianjurkan sebagai alternatif atau terapi adjuvan pada CLE yang tahan denga anti-malaria
Dosis terapi berkisar dari 25 sampai 150mg/hari. Pengobatan terbatas pada dosis efektif terendah mengurangi risiko hemolisis dan methemoglobinemia. Sebelum memulai terapi dengan dapson, pasien disarankan untuk diperiksa defisiensi glukosa - 6 -fosfat. Efek samping lain termasuk reaksi hipersensitivitas dengan gejala jenis mononukleosis, berpotensi fatal agranulositosis, dan neuropati motorik akral. Risiko efek samping hematologi yang terbesar dalam tiga bulan pertama terapi dan jumlah darah lengkap harus diperoleh secara rutin selama waktu ini. Meskipun potensi efek samping yang berisiko, dapson dianjurkan sebagai alternatif atau terapi adjuvan pada CLE yang tahan denga anti-malaria
Thalidomide.
Efek
thalidomide yang dikaitkan dengan penghambatan
sintesis TNF -
alpha dan UVB yang menginduksi apoptosis keratinosit. Thalidomide adalah teratogen terkenal dan hanya harus
dipertimbangkan pada wanita usia reproduksi dengan bentuk kontrasepsi yang efektif.
Efek samping lain termasuk neuropati perifer berpotensi ireversibel, amenore
sekunder, dan peningkatan risiko kejadian tromboemboli.
Dosis terapi berkisar dari 50 sampai dalam100mg/hari dan
dokter harus mengacu pada Sistem keamanan peresepan dan
edukasi tentang Thalidomide, program
tersebut
untuk memastikan proses terapi yang aman
Penggunaan thalidomide dalam
pengobatan CLE pertama kali dilaporkan
dalam penelitian 1983 di mana 60 kasus
DLE kronis diobati
dengan 50 sampai dalam100mg/hari.
Lima puluh empat pasien (90%)
memiliki regresi lengkap atau ditandai lesi. Relapse
terjadi di 30 dari
41 (71%) pasien berhasil diobati setelah penghentian thalidomide. Lesi tidak separah
sebelum pengobatan dan 16 dari 41 (39%) merespon
dengan baik untuk kursus kedua
thalidomide. Efek samping yang
dilaporkan termasuk mengantuk,
sembelit, ruam, edema,
xerostomia, dan yang paling penting,
neuropati perifer pada 25 persen pasien. Sebuah penelitian
tahun
2005 dari
48 pasien yang menerima dosis
berbeda dari thalidomide menghasilkan
hasil yang sama pada pasien dengan berbagai subtipe CLE.
Dua puluh sembilan (60%) mencapai
remisi lengkap, 10 (21%) remisi parsial, dan sembilan (19%) melaporkan tidak ada respon. Relapse terjadi
pada 26 (67%) pasien yang telah mencapai remisi lengkap atau sebagian.
Tiga belas ( 27 % ) pasien melaporkan neuropatiyang
tidak tergantung dosis obat. Akhirnya, sebuah penelitian tahun 2011 meneliti pengalaman jangka panjang efikasi dan
keamanan thalidomide dalam pengobatan CLE refrakter. Enam puluh jumlah pasien dengan DLE (42 %), SCLE (30 %),
atau lupus profunda tidak responsif terhadap terapi dengan CQ,
HCQ, topikal / steroid oral, dapson, atau immunosuppressives oral
yang diobati dengan dalam100mg/hari
thalidomide. Pasien dievaluasi menggunakan sistem skoring CLASI dan menunjukkan
penurunan skor aktivitas ( misalnya, eritema dan scaling ) dari 7 ± 4
-- 0,25 ± 0,82 dan skor kerusakan
(misalnya, jaringan parut dan dispigmentasi ) dari 0,67 ± 1,34-1,4 ± 1,7 .
Respon lengkap diamati pada 50 ( 85 % ) pasien, respon parsial dalam delapan(14%)
dan tidak ada respon pada satu pasien. Tiga puluh lima ( 70 % ) pasien dengan
respon lengkap kambuh setelah pemberhentian
pemberian thalidomide.
Paresthesia dilaporkan di 18 persen pasien dan tujuh perempuan melaporkan
amenore sekunder. Karena risiko yang terkait dengan penggunaan thalidomide,
hanya boleh digunakan untuk mengobati CLE parah, terutama DLE.
LENALIDOMIDE .
Lenalidomide
adalah analog struktural thalidomide dengan efek imunomodulator lebih kuat dan menurunkan
risiko polineuropati. Efek samping yang serupa dengan thalidomide , tetapi
umumnya ringan. Lenalidomide dikembangkan pada tahun 2004 untuk pengobatan
multiple myeloma , sindrom myelodysplastic , dan tumor padat.
Sebuah penelitian non blinded tahun 2012 meneliti efek dari lenalidomide sebagai terapi
tambahan pada CLE yang parah. Empat pasien dengan DLE atau SCLE yang dimulai pada
lenalidomide oral dengan dosis 5mg setiap hari selama enam minggu. Empat dari lima
pasien memiliki respon klinis memuaskan dan pengurangan rata-rata skor
aktivitas CLASI 21,4-10,4. Satu pasien yang tidak respon, yang memiliki gejala onset baru SLE meskipun
terjadi perbaikan awal pada
lesi kulit. Risiko lenalidomide memicu pada penyakit sistemik telah dijelaskan dalam literatur Karena
kemungkinan bahwa lenalidomide dapat memperburuk penyakit dan kurangnya penelitian
yang mendukung dalam literatur , lenalidomide saat ini tidak
dianjurkan untuk pengobatan rutin CLE .
AGEN
BIOLOGIS
Imunoglobulin
Intravena ( IVIG )
IVIG adalah produk
dari pooling imunoglobulin G ( IgG ) imunoglobulin diekstraksi dari darah
yang didonor. Mekanismenya
masih kurang dipahami, tetapi IVIG
telah terbukti efektif dalam pengobatan defisiensi imun dan penyakit autoimun.
Nyeri kepala adalah efek samping
yang paling umum, dengan laporan yang jarang adalah
terkait erupsi kulit, gagal ginjal
akut, dan kejadian tromboemboli. Secara keseluruhan , resolusi lengkap atau respon yang
baik telah dilaporkan dalam total 21 pasien dengan CLE dari enam laporan kasus
.Sebaliknya , penelitian lain menemukan IVIG tidak efektif dalam mengobati lesi
CLE pada lima pasien dengan ACLE dan dua dengan SCLE .IVIG adalah terapi yang
menjanjikan untuk CLE
yang parah, namun penggunaan
rutin terbatas karena biaya tinggi dan kurangnya studi klinis yang kuat.
Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoklonal anti-CD20 chimeric
yang menginduksi penurunan sel B melalui kedua antibodi
dependen dan jalur independen.
Efek samping
termasuk reaksi
infus, neutropenia, dan
trombositopenia.
penelitian dalam literatur mendukung penggunaan rituximab dalam kondisi dermatologi, seperti pemphigus vulgaris, penyakit pemfigus, graft-versus host paraneoplastic, dermatomiositis, dan keganasan kulit sel-B. Dalam empat laporan kasus, lesi kulit yang berhasil diobati dalam tiga pasien dengan SLE refraktori dan dua pasien dengan SCLE. Kebanyakan pasien menunjukkan respon yang sangat baik untuk rituximab monoterapi atau dalam kombinasi dengan agen sistemik lainnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis optimal dan penjadwalan terapi rituximab pada CLE.
penelitian dalam literatur mendukung penggunaan rituximab dalam kondisi dermatologi, seperti pemphigus vulgaris, penyakit pemfigus, graft-versus host paraneoplastic, dermatomiositis, dan keganasan kulit sel-B. Dalam empat laporan kasus, lesi kulit yang berhasil diobati dalam tiga pasien dengan SLE refraktori dan dua pasien dengan SCLE. Kebanyakan pasien menunjukkan respon yang sangat baik untuk rituximab monoterapi atau dalam kombinasi dengan agen sistemik lainnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis optimal dan penjadwalan terapi rituximab pada CLE.
TERAPI EKSPERIMENTAL/PERCOBAAN
Beberapa terapi baru telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam jumlah pasien
yang
terbatas pada pasien CLE. Antibodi monoklonal, tocilizumab
dan antibodi anti-CD4, memiliki masing-masing berhasil mengobati lesi
CLE yang refrakter dalam laporan tunggal.
Cefuroxime axetil adalah
cephalosporin
antibiotik oral
yang muncul
menunjukkan beberapa aktivitas imunomodulator, ditunjukkan dalam tiga pasien
dengan SCLE . Danazol merupakan turunan testosteron digunakan untuk mengobati
endometriosis, penyakit payudara fibrokistik, dan edema angioneurotic keturunan
yang menekan hipofisis - ovarium dan dapat menurunkan
kadar imunoglobulin . Danazole oral telah digunakan
secara efektif untuk mengobati dua pasien dengan DLE terkait dengan eksaserbasi
pramenstruasi. Photophoresis extracorporeal adalah teknik yang memisahkan dan menyinarkan sel darah
putih digunakan dengan hasil yang baik dalam total tujuh pasien dengan CLE
parah.
Terapi pengerasan UVB juga telah terlibat sebagai intervensi baru pada pasien dengan fotosensitif CLE. Chaperonin 10 adalah shock protein panas dan molekul sekretori yang dapat menekan imunitas bawaan dan adaptif. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan rekombinan chaperonin 10 selektif mencegah lupus kulit dan menekan lupus nefritis SLE pada tikus yang diinduksi. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada sejumlah besar pasien untuk mendukung efektivitas perjanjian terapi dan pengobatan CLE dengan rutin
Terapi pengerasan UVB juga telah terlibat sebagai intervensi baru pada pasien dengan fotosensitif CLE. Chaperonin 10 adalah shock protein panas dan molekul sekretori yang dapat menekan imunitas bawaan dan adaptif. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan rekombinan chaperonin 10 selektif mencegah lupus kulit dan menekan lupus nefritis SLE pada tikus yang diinduksi. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada sejumlah besar pasien untuk mendukung efektivitas perjanjian terapi dan pengobatan CLE dengan rutin
KONTROVERSIAL PADA TERAPI CLE
Selama bertahun-tahun, banyak terapi yang berbeda telah
diuji untuk keberhasilan dalam CLE dan telah masuk dan keluar berdasarkan pertimbangan satu atau alasan lain. Subjek ini sepenuhnya dibahas dalam artikel sebelumnya.
Obat tidak lagi dianjurkan karena profil risiko-manfaat yang tidak menguntungkan termasuk fenitoin,gold, efalizumab, siklosporin, dan siklofosfamid. Obat lain, seperti antagonis TNF - alpha (misalnya , infliximab, etanercept, adalimumab), interferon alfa, imiquimod, fototerapi, sulfasalazine, dan leflunomide tidak digunakan atau sangat terbatas karena laporan mempertanyakan potensi obat-obat tersebut dalam memperburuk penyakit yang mendasari. Meskipun berisiko sebagai monoterapi, beberapa agen ini mungkin masih berguna pada dosis rendah sebagai adjuvant untuk pengobatan standar dengan mengambil keuntungan dari efek sinergis dari terapi kombinasi ( Tabel 2 ).Seperti efek samping telah dilaporkan dalam laporan kasus baru-baru ini ada dua pasien dengan SCLE parah berhasil diobati dengan 22,5 sampai 30mg/minggu MTX dalam kombinasi dengan siklosporin 3mg/kg/hari dalam ketidakadaan efek samping.
Obat tidak lagi dianjurkan karena profil risiko-manfaat yang tidak menguntungkan termasuk fenitoin,gold, efalizumab, siklosporin, dan siklofosfamid. Obat lain, seperti antagonis TNF - alpha (misalnya , infliximab, etanercept, adalimumab), interferon alfa, imiquimod, fototerapi, sulfasalazine, dan leflunomide tidak digunakan atau sangat terbatas karena laporan mempertanyakan potensi obat-obat tersebut dalam memperburuk penyakit yang mendasari. Meskipun berisiko sebagai monoterapi, beberapa agen ini mungkin masih berguna pada dosis rendah sebagai adjuvant untuk pengobatan standar dengan mengambil keuntungan dari efek sinergis dari terapi kombinasi ( Tabel 2 ).Seperti efek samping telah dilaporkan dalam laporan kasus baru-baru ini ada dua pasien dengan SCLE parah berhasil diobati dengan 22,5 sampai 30mg/minggu MTX dalam kombinasi dengan siklosporin 3mg/kg/hari dalam ketidakadaan efek samping.
PEMBAHASAN
Banyak pilihan pengobatan telah berhasil digunakan untuk mengobati lesi kulit CLE ( Tabel 3 dan 4 ) . Menghindari sinar matahari dan tinggi SPF tabir surya adalah langkah-langkah pencegahan yang sangat efektif. Terapi topikal adalah pokok dari pengobatan CLE. Pengobatan sistemik sejak dulu, pengobatan terbukti secara klinis, seperti terapi antimalaria, untuk yang lebih baru, cutting edge imunologi dan obat-obatan biologis dengan mekanisme. Konsep terapi kombinasi juga diteliti untuk pengobatan CLE. Penelitian menunjukkan keamanan dan kemanjuran kombinasi yang berbeda dari terapi dapat memberikan rute di mana obat dengan profil efek samping yang lebih luas dapat kembali pada penggunaan rutin .
Masalah utama tentang pengobatan CLE adalah kurangnya penelitian dengan potensi yang baik dan cukup dalam mendukung manfaat dari terapi. Saat ini , hanya ada satu
review sistematis obat untuk DLE pada Cochrane
Database of Systemic dan tidak ada intervensi terapeutik yang
didukung oleh bukti klinis yang cukup untuk mencapai
Level 1 menurut kriteria OCEBM (Tabel 3). Karena saat ini, dunia kedokteran menginginkan peningkatan penekanan pada praktek kedokteran berbasis
bukti, dokter mungkin akan diminta untuk membuat penilaian klinis berdasarkan
kekuatan bukti dari literatur. Meskipun beberapa terapi
intervensi
telah didukung selama puluhan tahun oleh bukti yang bersifat anekdot dan sejarah, masa depan obat
mungkin memerlukan bukti yang lebih konkrit terkait
risiko dan
manfaatnya. Sayangnya, obat dengan efek
imunologi sering menjadi "pedang bermata dua," dengan menggunakan
beberapa terapi baru tetap kontroversial karena hasil yang menjanjikan dalam
mengobati CLE parah kadang bertentangan
dengan beberapa laporan yang menyarankan, ternyata obat ini
benar-benar dapat memperburuk penyakit. Dengan percobaan yang dirancang lebih
baik pada sejumlah pasien yang cukup, ambiguitas ini dapat mengatasi kemungkinan dermatologists untuk mengambil keuntungan dari terapi intervensi baru
dan berlatih dengan penuh percaya diri di bawah naungan kedokteran berbasis
bukti.