b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

Kamis, 21 November 2013

“TREATMENT OF CUTANEUS LUPUS ERYTHEMATOSUS”

thumbnail Title: “TREATMENT OF CUTANEUS LUPUS ERYTHEMATOSUS”
Posted by:Unknown
Published :2013-11-21T07:54:00-08:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
“TREATMENT OF CUTANEUS LUPUS ERYTHEMATOSUS”
            Penatalaksanaan penyakit Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) difokuskan setelah dirumuskan regimen terapi topical dan sistemik  yang dirancang untuk mengurangi aktivitas penyakit dan meminimalisir kerusakan kosmetik. Menghindari paparan sinar matahari dan tabir surya adalah langkah pencegahan yang terbukti penting untuk meminimalkan eksaserbasi Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE). Limited disease seperti ini biasanya diterapi dengan kortikosteroid topical atau inhibitor calcineurin. Terapi antimalaria adalah standar emas terapi sistemik. Banyak pengobatan lain telah dipelajari pada pasien-pasien dengan CLE yang cukup parah, dan penggunaannya harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan asas manfaat-resiko pada setiap individu. R-salbutamol dan terapi laser telah terbukti menjadi alternative topical efektif. Agen sistemik tanbahan termasuk retinoid, imunosupresan, imunomodulator, biologis, dan terapi ekperimental lain cara baru. Menurut pusat Oxford untuk criteria EBM dalam mengevaluasi kekuatan bukti yang mendukung langkah terapi, tidak ada terapi untuk CLE yang mencapai status level 1. Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan penelitian secara acak, percobaan/eksperimen yang terkontrol, dan tinjauan sistematis terhadap semua bentuk terapi CLE dalam rangka peningkatan standar dan untuk permintaan praktek klinis yang berdasarkan pembuktian ilmiah ((J Clin Aesthet Dermatol. 2013;6(1):27–38.)

            Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) adalah penyakit terbanyak kedua yang memperlihatkan gejala autoimun lupus eritematosus. Lesi-lesi mendahului timbulnya gejala sistemik pada 25% pasien, banyak diantaranya datang ke ahli kulit (dermatologist) untuk pemeriksaan awal. Diagnosis CLE memerlukan pemahaman menyeluruh dari manifestasi kulit dan spectrum klinis lupus. Skema klasifikasi “Gilliam” membedakan LE- spesifik CLE berdasarkan adanya dermatitis/……lesi kulit LE-khusus dibagi menjadi tiga kategori berikut : CLE akut (ACLE), Subakut CLE(SCLE), dan kronis CLE (CCLE). Selanjutnya, subdivisi dari CCLE termasuk discoid LE (DLE), dan lesi LE spesifik lainnya, termasuk chilbail LE, LE tumidus (LET), dan LE panniculitis yang menyebabka penyakit kulit yang tidak berhubungan dengan dermatitis
            Jumlah ACLE sekitar 6.1 % dari pasien-pasien dengan CLE dan yang ditandai dengan “butterfly rash (ruam berbentuk kupu-kupu)” melapisi pipi malar dan hidung. Ruam merupakan reaksi fotosensitif dan sangat terkait dengan dengan eksaserbasi SLE. Lesi biasanya sembuh tanpa jaringan parut meskipun area yang terkena infeksi (post-inflammatory) kemungkinan akan terjadi penurunan pigmentasi secara persisten. Beberapa pasien dengan CLE, sekitar 18.4% didiagnosis dengan SCLE. Pasien –pasien yang mengalami reaksi fotosensitivitas ditandai dengan lesi annular dan papulosquamous secara dominan pada area yang terpapar sinar matahari. Sebagian pasien-pasien dengan SCLE memiliki empat (4) atau lebih diagnosis klinis dari SLE, dan 70%  menunjukkan hasil yang positif untuk uji antibody anti-Ro. Lesi-lesi akan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi hipopigmentasi dan telangiektasis sering dikeluhkan. DLE adalah bentuk paling umum dari CCLE dan memperngaruhi 67.5% dari semua pasien dengan CLE. Pada DLE ditemukan klinis sebagai eritematosus,plakat berbentuk koin dengan hyperkeratosis di tengahnya. Sekitar 70% kasus terbatas pada kepala, kulit kepala dan jarang berhubungan dengan penyakit sistemik. Diagnosa dibuat berdasarkan temuan klinis berupa eritema, penyumbatan folikel (folikutis), fotosensitivitas, dispigmentasi, telangiektasis, dan atrofi kulit. Yang membedakan dengan SCLE, jaringan parut dan atrofi kulit merupakan ciri khas pada DLE.
Penatalaksanaan penyakit Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) difokuskan setelah dirumuskan regimen terapi topical dan sistemik  yang dirancang untuk mengurangi aktivitas penyakit dan meminimalisir kerusakan kosmetik. Dosis penyesuaian mungkin diperlukan selama perawatan karena sifat aktivitas CLE yang kadang tidak bisa diprediksikan. Meskipun resiko gabungan perubahan menjadi SLE pada  pasien-pasien dengan SCLE dan DLE adalah sekitar 12.2%, hampir semua pasien dengan CLE harus dievaluasi sejak dini dan dilakukan tindak lanjut (follow up) terhadap munculnya tanda-tanda penyakit sistemik ( arthralgia, serositis, ulkus oral, penyakit ginjal, dan anemia)
Saat ini, tidak ada obat yang telah disepakati secara khusus terkait terapi CLE. Banyak obat yang dijelaskan dlam literature yang diizinkan untuk diresepkan sama untuk setiap subtipe CLE. Ulasan ini menyimpulkan pilihan terapi terkini untuk CLE dan penelitan penelitian dari literatur yang mendukung keabsahan penelitian tersebut. Informasi terbaru adalah termasuk pada tindakan pencegahan, terapi local, sistemik, eksperimental, terapi yang kontroversi. Karena penekanan terhadap praktek klinis yang berdasarkan bukti ilmiah, kekuatan penelitian yang menunjukkan manfaat terapeutik dari setiap perlakuan telah dievaluasi berdasarkan criteria yang diterbitkan oleh Pusat EBM Oxford (tabel 1). Implikasi dari skema klasifikasi tersebut dimanfaatkan untuk penerapan klinis dari intervensi terapeutik sebelumnya yang akan dibahas pada akhir pembahasan.
PENCEGAHAN
            Ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) telah terbukti menimbulkan lesi pada pasien dengan CLE. Dengan hal tersebut, edukasi pasien tentang menimalisir paparan sinar matahari dan sinar UV adalah bagian penting dari rencana perawatan. Kuhn et al, merekomendasikan pasien dengan CLE menghindari berjemur, tanning salon, perjalanan ke daerah yang dekat khatulistiwa, pekerjaan di luar ruangan, dan bola lampu dengan radiasi UV yang tinggi. Perlindungan secara rutin dengan tabir surya telah dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih baik pada SLE. Pasien harus menggunakan tabir surya dengan SPF (Sun protection Factor) 50 atau lebih dalam jumlah yang memadai (2 mg/cm2setidaknya digunakan sekitar 20-30 menit sebelum terkena paparan. Rekomendasi ini didukung oleh …acak terkontrol, antar perorangan, komparatif/perbandingan, penelitian double blind, juga oleh Kuhn et al, menunjukkan 100% perlindungan dari radiasi UVA dan UVB pada 25 orang pasien CLE dengan fotosensitivitas yang menggunakan tabir surya spektrum luas. Pada penambahan, sumplemen Vitamin D (400IU/hari) seharusnya selalu dipertimbangkan pada pasien untuk menghindari paparan sinar matahari.

TERAPI TOPIKAL
Kortikosteroid Topikal
            Kortikosteroid topikal secara efektif mengurangi gejala peradangan di semua jenis CLE. Meskipun dalam penggunaan klinis, percobaan acak-terkontrol menunjukkan dimana kortikosteroid potensi tinggi (fluocinonide cream 0.05%) lebih efektif daripada kortikosteroid potensi rendah (Hidrocortison 1%) pada 78 pasien dengan DLE. Kortikosteroid topical diketahui menyebabkan atrofi, telangiektasis, dan dermatitis (rosasea) yang diinduksi steroid dalam penggunaan yang lama. Untuk  menimalkan efek samping, kortikosteroid topical harus diresepkan pada potensi yang terendah yang diperlukan untuk mencapai status resolusi dalam waktu sesingkat mungkin. Secara umum, kortikosteroid potensi rendah-sedang (misalnya metilprednisolon) sebaiknya digunakan pada wajah, potensi sedang (misalnya triamcinolone acetonide, betamethasone valerate) pada badan dan ekstremitas, dan kortikosteroid potensi tinggi (misalnya : clobetasol) pada telapak tangan dan kaki dimana kulit pada area tersebut kulit yang cukup tebal. Terapi intralesi dengan 2.5-10mg/mL triamcinolone solusio digunakan pada pasien dengan DLE local yang refrakter terhadap pengobatan lain. Injeksi dibutuhkan keterampilan untuk menghindari atrofi subkutan.
Penghambat Kalsineurin (Calcineurin Inhibitor)
            Karena efek samping yang tidak diinginkan dari kortikosteroid topical, penghambat kalsineurin, takrolimus, pimekrolimus telah dipelajari potensinya untuk terapi jangka panjang pada pasien CLE. Obat-obat dalam golongan ini bekerja dengan menbentuk kompleks dengan makrofilin-12 yang menghambat kalsineurin melalui defosforilasi faktor transkripsi nuclear yang diaktivasi oleh sel T(NF-AT). Fosoforilasi NK-AT bertanggung jawab atas transkripsi dari banyak modulator peradangan dengan sel T. Sejak laporan pertama sukses dengan penghambat kalsineurin dalam pengobatan lesi kulit lupus eritematosus pada tahun 2002, beberapa penelitian telah menunjukkan keberhasilan mereka dalam efektivitasnya pada pasien CLE. Efek samping terbatas terbakar “burning” yang sifatnya sementara, eritema, dan iritasi. Tanpa resiko atrofi kulit, penghambat kalsineurin sangat efektif pada daerah  kulit yang sensitif yaitu, wajah, leher, area intertriginosa/lipatan tubuh. Takrolimus tersedia dalam bentuk salep 0,1% dan 0.03% dipertimbangkan penggunaanya untuk dermatitis atopic dan telah memiliki label sukses dalam mengobati psosiaris, liken planus, pioderma gangrenosum, dan CLE. Pada penelitian acak terkontrol, 20 orang pasien dengan CLE ( 13 ruam malar SLE, 4 DLE, 1 SCLE) diobati dengan takrolimus 0.1% dan  salep  clobetasol dipropionate 0.05 digunakan pada satu bagian wajah dua kali sehari selama sebulan. Peningkatan CLE diamati pada kedua kelompok dengan perlakuan yang sama, dan tanpa perbedaan yang signifikan dalam keberhasilan secar keseluruhan. Namun,sebanyak 61% pasien yang diobati dengan steroid, mengeluhkan adanya telangiktasis, sebuah temuan yang menyoroti efek samping steroid dibandingkan takrolimus.
            Pada tahun 2011, sebuah penelitian, mengevaluasi efektivitas salep takrolimus 0.1% pada 20 orang pasien yang dioati dua kali sehari selama 12 minggu. Terjadi peningkatan signifikan, ditemukan eritema dan edema pada lesi yang diobati setelah 28 dan 56 hari , tapi tidak tidak setelah 84 hari bila dibandingkan denga lesi yang diobati vehikulum. Paling tidak perbaikan didapatkan pada pasien yang lebih tua, dan lesi DLE hyperkeratosis. Tidak ada efek samping utama yang dilaporkan. Temuan penelitian ini menunjukkan takrolimus memberikan manfaat terutama pada fase akut, edema, dan lesi CLE nonhiperkeratosis. Penelitian lain baru-baru ini juga menemukan takrolimus 0.3% dalam kombinasi dengan clobetasol propionate 0.05% mungkin lebih efektif dari monoterapi menggunakan salep takrolimus 0.1% dalam pengobatan CLE yang cukup parah.
Pimekrolimus memiliki aktivitas fungsional yang sama seperti takrolimus, tetapi lebih lipofilik, memiliki afinitas yang tinggi terhadap epidermis, penetrasi yang lebih rendah ke dalam kulit, resorbsi rendah. Zabawski untuk pertama kalinya menggambarkan peningkatan pada seorang pasien wajah DLE yang diobati dengan krim pimekrolimus 1%. Pada tahun 2007, sebuah penelitian double blind, penelitian dengan menggunakakan placebo mengevaluasi penggunaan krim pimekrolimus 1% pada pasien CLE. Dua puluh lima (25) pasien dengan DLE atau SCLE yang diobati dua kali sehari selama sebulan dan dievaluasi skor kulit yang berdasarkan eritema, infiltrasi, scaling., diameter lesi. Terapi dipertahankan dengan baik dan skor kulit berkurang setelah sebulan terapi dari rata-rata 5.5 hingga menjadi 2.8
Sebuah penelitian double blind secara acak, penelitian terkontrol tahun 2009, membandingkan efektivitas pimekrolimus krim 0.1% dengan betamethasone17-valerat krim 0.1% pada 10 orang pasien dengan wajah DLE, dioleskan ke satu sisi wajah dua kali sehari selama delapan minggu, dan hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil pada kedua kelompok dan menunjukkan pimekrolimus krim 0.1% sama efektifnya dengan betamethasone17-valerat 0.1% krim dalam mengobati pasien DLE.
Beberapa penelitian di atas, menunjukkn bahwa penghambat kalsineurin sebanding dengan kortikosteroid topikal dalam pengobatan CLE, sedikitnya efek samping yang ditimbulkan menunjukkan penghambat kalsineurin sebagai terapi topikal yang sangat tepat pada lesi CLE.
R-salbutamol
            R-salbutamol adalah adrenergic agonis resptor B2, umumnya digunakan dalam pengobatan asma. Sebagian besar dikatkan dengan aktivasi reseptor b2 pada sel CD4, monosit, makrofag, dan sel langerhans. Sel-sel ini menghambat reseptor B2 yang mentranskripsi gen inflamasi dan produksi interleukin (IL-2) dan  gamma interferon. Pada tahun 2009, sebuah penelitian multicenter secara acak placebo, pada 37 orang pasien dengan setidknya satu lesi baru DLE secara acak diobati dengan R-salbutamol krim 0.5% (n=19) atau placebo (n=18) dua kali sehari selama delapan minggu, dan menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengobati scaling/hipertrofi, nyeri, gatal, koreng, bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak ada efek samping yang dilaporkan. Penelitian ini, dan peneliatin sebelumnya menunjukkan R-salbutamol mungkin menjadi alternatif terapi topikal baru yang efektif untuk DLE.
                                                 


Terapi Fisik
Keberhasilan terapi telah dilaporkan dengan menggunaka laser dan krioterapi pada pasien dengan CLE. Meskipun penggunaan  argon dan laser karbondioksida telah didomentasikan dalam beberapa lapran kasus, beberapa studi kasus mendukung efektivitas terapi laser (PDL), dikaitkan denga kehancuran selektif pembuluh darah dalam kulit yang diikuti oleh modulasi inflamasi dan efek regresi. Efek samping PDL terbatas pada hipopigmentasi local, hiperpigmentasi sementara, dan sedikit skar.
Dalam sebuah penelitian, tahun 1999, sebuah tingkat clearance dari 70 pasien diamati pada Sembilan orang pasien DLE yang mengikuti terapi PDL. Analisis klinis menunjukkan perbaikan dalam telangiktasis, eritema, hyperkeratosis, jaringan parut, pigmentasi, tapi tidak ada atrofi. Evaluasi histopatologi menunjukkan penurunan tajam dalam limfositik dermis. Penelitian kolektif menunjukkan bahwa PDL adalah salah satu pengobatan yang efektif untuk DLE, terutama DLE kronis




TERAPI SISTEMIK
Terapi Anti Malaria
            Terapi sistemik lini pertama untuk pasien dengan semua subtype CLE adalah penggunaan obat antimalaria oral. Aktivitas anti-inflamasi anti-malaria pada CLE tidak diketahui, namun dikaitkan dengan sifat lisosomotropik, gangguan presentasi antigen, dan penghambatan sitokin pro-inflamasi (misalnya IL-1, Il-2, TNF-alpha). Penggunaan anti-malaria pada CLE pertama kali dilaporkan pada tahun 1894 dengan keberhasilan pengobatan DLE dengan chinine. Saat ini, hidrokloroquin(HQ) dan kloroquin (CQ) dan kina adalah anti malaria yang paling umum digunakan dalam pengobatan CLE. Kontraindikasi terhadap terapi anti malaria mencakup pasien dengan hipersensitivitas terhadap 4-amino-kuinolon, retinopati, gangguan hematopoetik, defisiensi glukosa-6-fosfat, dan miastenia gravis.
            HQ telah disebut pedoman terapi lupus karena kejadian efek samping tergolong rendah dibandingkan dengan klorokuin. Pada tahun 1992 , secara acak, double – blind, penelitian terkait efektivitas HQ terhadap acitretin pada pasien dengan berbagai jenis CLE. Tiga puluh pasien yang menerima 400mg/day HQ menunjukkan peningkatan 50 persen dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang menerima 50mg/day dari acitretin, terjadi peningkatan 46 persen dalam 28 pasien. Kemanjuran CQ ditunjukkan dalam prospektif, double-blind, acak, percobaan terkontrol tahun 2005. Tujuh belas pasien diobati dengan 250mg/day CQ dan 16 dengan dalam100mg/hari klofazimin selama enam bulan . Pasien yang diobati dengan CQ dan klofazimin,82,4 dan 75 persen, masing-masing memiliki remisi total atau sebagian terhadap lesi kulit. Efek samping gastrointestinal yang sering terjadi pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hasi, terbukti baik untuk pengobatan. Meskipun efek samping yang paling umum dari terapi antimalaria adalah xerosis dan hiperpigmentasi kulit, toksisitas okular adalah yang sering terjadi . Dosis harian maksimum terkait HQ dan CQ terutama terkait dengan toksisitas kemampuan melihat. Namun, jika dosis benar, terapi berkepanjangan membawa risiko minimal menginduksi retinopati. Rekomendasi dosis maksimum pada orang dewasa adalah 6,0-6,5 dan 3,5 untuk 4.0mg/kg berat badan ideal untuk HQ dan CQ , masing-masing. Berat badan ideal dihitung dengan menggunakan persamaan : [ ( panjang tubuh ( cm ) -100 ) -10 % ] pada pasien laki-laki dan [ ( panjang tubuh ( cm ) -100 ) -15 % ] untuk pasien perempuan. HQ memiliki risiko yang lebih rendah untuk toksisitas retina daripada CQ, tetapi kurang efektif. Efek samping lain dari HQ dan CQ adalah gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat, perubahan warna rambut ,miopati, pruritus, dan hiperpigmentasi kulit, kuku, dan selaput lendir
Keberhasilan Quinacrine telah ditunjukkan dalam mengobati CLE oleh beberapa penelitian pada pertengahan abad ke-20. Namun, karena risiko penekanan sumsum tulang dan perubahan warna kuning pada kulit dan mukosa, penggunaannya berkurang dalam mendukung HQ dan CQ. Meskipun kemanjuran HQ dan CQ pada CLE, penggunaannya dibatasi oleh risiko dari retinopati irrevesibel dan tidak boleh diresepkan bersama-sama. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi kombinasi HQ atau CQ dengan quinacrine, yang tidak memiliki toksisitas retina, memiliki khasiat sinergis tanpa peningkatan risiko retinopati. Efek sinergis dari terapi kombinasi juga telah dilaporkan untuk pasien di HQ atau CQ dalam kombinasi dengan inhibitor kalsineurin, methotrexate, dapson, dan mycophenolate mofetil (Tabel 2). Studi lebih lanjut diperlukan untuk meneliti penggunaan terapi kombinasi dalam terapi CLE. Saat ini, dalam100mg/hari quinacrine disarankan sebagai adjuvant pada HQ dan CQ pada pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan atau sebagai monoterapi pada pasien dengan perubahan okular atau kontraindikasi lain untuk HQ atau CQ.
            Meskipun rekomendasi dalam literatur untuk evaluasi laboratorium rutin pasien pada terapi antimalaria ini belum terbukti menjadi ukuran sangat hemat biaya. Namun, karena risiko retinopati, persetujuan dari dokter mata dianjurkan sebelum memulai terapi. Pasien yang memakai antimalaria harus diperhatikan bahwa obat membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mencapai efek penuh ( 4-6 minggu untuk HQ dan CQ , 6-8 minggu untuk quinacrine ) dan mengendap di jaringan selama beberapa bulan setelah penghentian obat. Perokok mengalami penurunan respon terhadap terapi antimalaria Oleh karena itu, berhenti merokok disarankan untuk semua pasien CLE dan terutama mereka yang menerima terapi antimalaria.

Kortikosteroid Sistemik .
Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid sistemik dihindari pada pasien CLE karena risiko  terkena diabetes, osteoporosis, dan sindrom Cushing. Namun,  kortikosteroid oral bermanfaat untuk onset cepat dalam mengobati lesi yang sangat akut atau sebagai jembatan terapi sampai obat antimalaria mencapai tingkat terapeutik. Umumnya, dosis standar 0,5 sampai 1.0mg/kg/hari adalah meruncing setelah 2 sampai 4 minggu terapi
Retinoid Oral
Acitretin dan isotretinoin diklasifikasikan sebagai terapi lini kedua untuk pengobatan CLE oleh American Academy of Dermatology Guidelines. Retinoid biasa digunakan untuk pengobatan jerawat, psoriasis, dan limfoma sel T. Keberhasilan penggunaan pertama dari vitamin A derivatif dalam pengobatan CLE dilaporkan menggunakan etretinate pada tahun 1985. Acitretin sejak telah menggantikan etretinate karena waktu paruhnya yang pendek. Penggunaan acitretin di CLE dilakukan secara acak, doubleblind penelitian multicenter yang disebutkan sebelumnya di mana 50mg/hari dari acitretin berhasil dalam mengobati 28 pasien dengan CLE dibandingkan HQ 400mg/hari pada 30 pasien. Retinoid sangat berguna pada pasien dengan lesi hipertrofik pada telapak tangan dan kaki. Pengobatan DLE dan SCLE dengan isoretinoin telah dilaporkan pada sekitar 50 pasien dengan tingkat keberhasilan hingga 86,9 persen.
Dosis yang dianjurkan untuk acitretin dan isotretinoin pada CLE adalah 0,2 sampai 1.0mg/kg berat badan / hari. Efek samping yang umum termasuk xerosis dan xerophthalmia sementara, gangguan pencernaan, toksisitas tulang, rambut rontok, depresi, pseudotumor cerebri, mialgia, dan artralgia lebih sering terjadi. Isotretinoin dan acitretin keduanya teratogenik dan potensi untuk kehamilan harus hati-hati dinilai pada pasien perempuan. Kontrasepsi diperlukan sebelum dan sesudah perlakuan ( 1 bulan untuk isoretinoin, 2 bulan untuk acitretin) untuk memastikan pengeluaran obat seluruhnya dari tubuh. Hiperlipidemia dan hepatotoksisitas juga biasa terjadi dengan penggunaan retinoid karena efeknya pada metabolisme lipid. Oleh karena itu, risiko dan manfaat terapi retinoid harus dipertimbangkan pada pasien dengan dislipidemia, diabetes, sindrom metabolik, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya.

IMUNOSUPRESAN
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah analog asam folat yang menghambat reduktase dihydrofolate enzim dan, sebagai akibatnya, menyebabkan proliferasi sel T. MTX dikenal untuk digunakan dalam rheumatoid arthritis dan pertama kali dipertimbangkan untuk pengobatan SLE ​​pada tahun 1965. Penggunaan MTX sebagai terapi lini kedua pada pasien CLE refrakter terhadap terapi antimalaria telah didukung selama 15 tahun terakhir dalam literatur. Dosis yang dianjurkan saat ini adalah 7,5 sampai 25mg diberikan melalui injeksi subkutan selama lima hari dalam seminggu.
Efek samping dari MTX termasuk
gangguan pencernaan, toksisitas sumsum tulang, nefrotoksisitas, hepatotoksisitas, dan pneuomonitis interstitial. Pengganti Folat diperlukan dengan pengobatan serta pemantauan laboratorium rutin untuk sumsum tulang dan hepatotoksisitas.
 Sebuah  analisis retrospektif tahun 1998 dari 12 pasien dengan berbagai subtipe CLE ( 6 SCLE , 4 DLE, 1 lupus erythematosus panniculitis , 1 kaligata lupus) meneliti efek dari 10 sampai 25mg intravena ( IV ) atau oral MTX. Enam pasien menunjukkan  remisi total lesi CLE, empat mencapai remisi parsial, dan dua tidak respon. Lima pasien mencapai remisi lama 5-24 bulan setelah terapi. Penelitian  retrospektif lain meneliti efektivitas dan keamanan MTX pada CLE yang cukup parah. Empat puluh tiga pasien dengan berbagai subtipe CLE diperlakukan dosis rendah IV atau lisan MTX dengan. Sembilan puluh delapan persen menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivitas penyakit. Peningkatan yang paling diamati pada pasien dengan DLE dan SCLE. Tujuh pasien menghentikan pengobatan karena efek samping : empat mengalami peningkatan enzim hati, dua mengalami mual, dan satu panleukocytopenia setelah penghentian MTX. Saat ini , MTX dianjurkan sebagai pengobatan lini kedua untuk SCLE dan lokal DLE tidak tahan pada terapi antimalaria

Mofetil Mycophenolate Dan Natrium .
Mofetil Mycophenolate ( MMF ) adalah kompetitif inhibitor spesifik, reversibel inosin monofosfat dehidrogenase.Penurunan aktivitas enzim ini mempengaruhi proliferasi B dan limfosit T dan langsung menginduksi apoptosis limfosit T aktif. Laporan kasus telah menunjukkan MMF efektif dalam penyakit kulit autoimun bulosa, lupus nefritis,dan berbagai subtipe CLE. MMF adalah ditoleransi dengan baik dan hasil klinis yang dicapai dalam 1 sampai 2 bulan dengan dosis 1 sampai 3g/day. Efek samping yang paling umum adalah gejala gastrointestinal, infeksi saluran kemih, dan imunosupresi. Pemantauan laboratorium rutin untuk hematologi, ginjal, dan toksisitas hepar diperlukan.
 Sebuah penelitian tanpa acak tahun 2007  menilai efektivitas mycophenolate natrium, bentuk entericcoated dari MMF, pada 10 pasien dengan SCLE refrakter terhadap terapi antimalaria. Hasil yang luar biasa dicapai dengan 1.440 mg / hari MMF monoterapi selama tiga bulan . Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan. Penggunaan MMF sebagai adjuvant untuk terapi lain yang dipelajari dalam penelitian  retrospektif 2011 pada 24 pasien dengan berbagai subtipe CLE . Dosis rata-rata akhir MMF adalah 2.750 mg / hari . Seratus persen pasien menunjukkan perbaikan dan 62 persen mencapai resolusi lengkap atau mendekakti lengkap dari lesi CLE. Terapi dipertahankan dengan baik dan waktu yang berarti respon awal adalah 2,76 bulan . Efek menguntungkan dari MMF dalam kombinasi dengan HQ yang disorot dalam serangkaian kasus baru-baru tiga pasien dengan  CLE cukup parah. Dosis MMF dari 1.000 menjadi 1.500 mg / hari yang efektif dalam 5,6 minggu . Meskipun efektif sebagai monoterapi atau kombinasi dengan obat lain untuk penyakit yang sulit disembuhkan, perlu penelitian lebih banyak lagi untuk mengidentifikasi lebih lanjut peran MMF dalam pengobatan CLE

Azathioprine .
Azathioprine adalah prodrug dari 6 - mercaptopurine, purin antimetabolit dengan aktivitas sitotoksik dan imunosupresif dikaitkan dengan gangguan asam nukleat dalam fase-s dari siklus sel. Efek samping termasuk toksisitas sumsum tulang, hepatotoksisitas, dan gejala gastrointestinal. Sekitar 10 pasien dengan CLE dalam literatur telah berhasil diobati dengan azathioprine. Terapi dosis berkisar antara 1 dan 2.5mg/kg berat badan / hari dan membutuhkan pemantauan laboratorium rutin untuk toksisitas hematologi dan hati. Kadar thiopurine enzim methyltransferase harus dinilai sebelum terapi karena kekurangan obat tersebut adalah terkait dengan risiko yang lebih tinggi toksisitas hematopoietik. Karena sisi profil efek yang besae, kurangnya penelitian, dan biaya yang cukup mahal, penggunaan azathioprine pada CLE dialternatifkan untuk pasien dengan lesi yang berhubungan dengan SLE .



Klofazimin
Klofazimin adalah antibiotik dengan aktivitas antiinflamasi dan imunosupresif tradisional digunakan dalam pengobatan kusta. Efek samping yang umum termasuk perubahan warna coklat kemerahan pada kulit, kulit kering, mual, dan diare.
Pertama kali clofazimin digunakan untuk mengobati CLE adalah dalam
penelitian tahun 1974 di mana 65 persen dari 26 pasien dengan DLE berhasil diobati. Penelitian secara acak, double - blind, Amore terakhir dilakukan perbandingan dengan
khasiat clofazimin 100m
, 250mg untuk CQ pada 33 pasien dengan lesi SLE aktif.
Sebuah respon yang baik tercatat pada 75 dan 82,4 persen pasien yang diobati dengan klofazimin dan CQ. Meskipun klofazimin sama efektifnya dengan CQ dalam mengendalikan lesi kulit SLE, lima pasien dengan  lesi
serius ditarik dari penelitian. Karena ketidakmampuan untuk menentukan apakah ada risiko klofazimin merangsang lesi CLE, klofazimin hanya diindikasikan pada pasien dengan manifestasi eksklusif penyakit kulit
IMUNOMODULATOR
Dapson
Dapson adalah sulfon yang menghambat sintesis asam dihidrofolik dan perannya juga yeng memiliki sifat antibiotik dan antiinflamasi. Indikasi utama dapson oral adalah penggunaannya untuk dermatitis herpetiformis, meskipun telah digunakan untuk mengobati berbagai gangguan dermatologis lainnya. Tiga seri kasus kolektif menunjukkan peningkatan 35 persen dari 55 pasien CLE diobati dengan dapson oral.
Dosis terapi berkisar dari 25 sampai 150mg/hari. Pengobatan terbatas pada dosis efektif terendah mengurangi risiko hemolisis dan methemoglobinemia
. Sebelum memulai terapi dengan dapson, pasien disarankan untuk diperiksa defisiensi glukosa - 6 -fosfat. Efek samping lain termasuk reaksi hipersensitivitas dengan gejala jenis mononukleosis, berpotensi fatal agranulositosis, dan neuropati motorik akral. Risiko efek samping hematologi yang terbesar dalam tiga bulan pertama terapi dan jumlah darah lengkap harus diperoleh secara rutin selama waktu ini. Meskipun potensi efek samping yang berisiko, dapson dianjurkan sebagai alternatif atau terapi adjuvan pada CLE yang tahan denga anti-malaria

Thalidomide.
 Efek thalidomide yang dikaitkan dengan  penghambatan  sintesis TNF - alpha dan UVB yang menginduksi apoptosis keratinosit. Thalidomide adalah teratogen terkenal dan hanya harus dipertimbangkan pada wanita usia reproduksi dengan bentuk kontrasepsi yang efektif. Efek samping lain termasuk neuropati perifer berpotensi ireversibel, amenore sekunder, dan peningkatan risiko kejadian tromboemboli. Dosis terapi berkisar dari 50 sampai dalam100mg/hari dan dokter harus mengacu pada Sistem keamanan peresepan dan edukasi tentang Thalidomide, program tersebut untuk memastikan proses terapi yang aman
Penggunaan thalidomide dalam pengobatan CLE pertama kali dilaporkan dalam penelitian 1983 di mana 60 kasus DLE kronis diobati dengan 50 sampai dalam100mg/hari. Lima puluh empat pasien (90%) memiliki regresi lengkap atau ditandai lesi. Relapse terjadi di 30 dari 41 (71%) pasien berhasil diobati setelah penghentian thalidomide. Lesi tidak separah sebelum pengobatan dan 16 dari 41 (39%) merespon dengan baik untuk kursus kedua thalidomide. Efek samping yang dilaporkan termasuk mengantuk, sembelit, ruam, edema, xerostomia, dan yang paling penting, neuropati perifer pada 25 persen pasien. Sebuah penelitian tahun 2005 dari 48 pasien yang menerima dosis berbeda dari thalidomide menghasilkan hasil yang sama pada pasien dengan berbagai subtipe CLE. Dua puluh sembilan (60%) mencapai remisi lengkap, 10 (21%) remisi parsial, dan sembilan (19%) melaporkan tidak ada respon. Relapse terjadi pada 26 (67%) pasien yang telah mencapai remisi lengkap atau sebagian.
Tiga belas ( 27 % ) pasien melaporkan neuropatiyang tidak  tergantung dosis obat. Akhirnya, sebuah penelitian tahun 2011 meneliti pengalaman jangka panjang efikasi dan keamanan thalidomide dalam pengobatan CLE refrakter. Enam puluh jumlah pasien dengan DLE (42 %), SCLE (30 %), atau lupus profunda tidak responsif terhadap terapi dengan CQ, HCQ, topikal / steroid oral, dapson, atau immunosuppressives oral yang diobati dengan dalam100mg/hari thalidomide. Pasien dievaluasi menggunakan sistem skoring CLASI dan menunjukkan penurunan skor aktivitas ( misalnya, eritema dan scaling ) dari 7 ± 4 -- 0,25 ± 0,82 dan skor kerusakan (misalnya, jaringan parut dan dispigmentasi ) dari 0,67 ± 1,34-1,4 ± 1,7 . Respon lengkap diamati pada 50 ( 85 % ) pasien, respon parsial dalam delapan(14%) dan tidak ada respon pada satu pasien. Tiga puluh lima ( 70 % ) pasien dengan respon lengkap kambuh setelah pemberhentian pemberian thalidomide. Paresthesia dilaporkan di 18 persen pasien dan tujuh perempuan melaporkan amenore sekunder. Karena risiko yang terkait dengan penggunaan thalidomide, hanya boleh digunakan untuk mengobati CLE parah, terutama DLE.
LENALIDOMIDE .
 Lenalidomide adalah analog struktural thalidomide dengan efek imunomodulator lebih kuat dan menurunkan risiko polineuropati. Efek samping yang serupa dengan thalidomide , tetapi umumnya ringan. Lenalidomide dikembangkan pada tahun 2004 untuk pengobatan multiple myeloma , sindrom myelodysplastic , dan tumor padat. Sebuah penelitian non blinded tahun 2012 meneliti efek dari lenalidomide sebagai terapi tambahan pada CLE yang parah. Empat pasien dengan DLE atau SCLE yang dimulai pada lenalidomide oral dengan dosis 5mg setiap hari selama enam minggu. Empat dari lima pasien memiliki respon klinis memuaskan dan pengurangan rata-rata skor aktivitas CLASI 21,4-10,4. Satu pasien yang tidak respon, yang memiliki gejala onset baru SLE meskipun terjadi perbaikan awal pada lesi kulit. Risiko lenalidomide memicu pada penyakit sistemik telah dijelaskan dalam literatur Karena kemungkinan bahwa lenalidomide dapat memperburuk penyakit dan kurangnya penelitian yang mendukung  dalam literatur , lenalidomide saat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin CLE .
AGEN BIOLOGIS
Imunoglobulin Intravena ( IVIG )
 IVIG adalah produk dari pooling imunoglobulin G ( IgG ) imunoglobulin diekstraksi dari darah yang didonor. Mekanismenya masih kurang dipahami, tetapi IVIG telah terbukti efektif dalam pengobatan defisiensi imun dan penyakit autoimun. Nyeri kepala adalah efek samping yang paling umum, dengan laporan yang jarang adalah terkait erupsi kulit, gagal ginjal akut, dan kejadian tromboemboli. Secara keseluruhan , resolusi lengkap atau respon yang baik telah dilaporkan dalam total 21 pasien dengan CLE dari enam laporan kasus .Sebaliknya , penelitian lain menemukan IVIG tidak efektif dalam mengobati lesi CLE pada lima pasien dengan ACLE dan dua dengan SCLE .IVIG adalah terapi yang menjanjikan untuk CLE  yang parah, namun penggunaan rutin terbatas karena biaya tinggi dan kurangnya studi klinis yang kuat.
Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoklonal anti-CD20 chimeric yang menginduksi penurunan sel B melalui kedua antibodi dependen dan  jalur independen. Efek samping termasuk reaksi infus, neutropenia, dan trombositopenia.
penelitian dalam literatur mendukung penggunaan rituximab dalam kondisi dermatologi, seperti pemphigus vulgaris, penyakit pemfigus, graft-versus host paraneoplastic, dermatomiositis, dan keganasan kulit sel-B. Dalam empat laporan kasus, lesi kulit yang berhasil diobati dalam tiga pasien dengan SLE refraktori dan dua pasien dengan SCLE. Kebanyakan pasien menunjukkan respon yang sangat baik untuk rituximab monoterapi atau dalam kombinasi dengan agen sistemik lainnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis optimal dan penjadwalan terapi rituximab pada CLE.

TERAPI EKSPERIMENTAL/PERCOBAAN
Beberapa terapi baru telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam jumlah pasien yang terbatas pada pasien CLE. Antibodi monoklonal, tocilizumab dan antibodi anti-CD4, memiliki masing-masing berhasil mengobati lesi CLE yang refrakter dalam laporan tunggal. Cefuroxime axetil adalah cephalosporin antibiotik oral yang muncul menunjukkan beberapa aktivitas imunomodulator, ditunjukkan dalam tiga pasien dengan SCLE . Danazol merupakan turunan testosteron digunakan untuk mengobati endometriosis, penyakit payudara fibrokistik, dan edema angioneurotic keturunan yang menekan hipofisis - ovarium dan dapat menurunkan kadar imunoglobulin . Danazole oral telah digunakan secara efektif untuk mengobati dua pasien dengan DLE terkait dengan eksaserbasi pramenstruasi. Photophoresis extracorporeal adalah teknik yang memisahkan dan menyinarkan sel darah putih digunakan dengan hasil yang baik dalam total tujuh pasien dengan CLE parah.
Terapi pengerasan UVB juga telah terlibat sebagai intervensi baru pada pasien dengan fotosensitif CLE. Chaperonin 10 adalah shock protein panas dan molekul sekretori yang dapat menekan imunitas bawaan dan adaptif. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan rekombinan chaperonin 10 selektif mencegah lupus kulit dan menekan lupus nefritis SLE pada tikus yang diinduksi. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada sejumlah besar pasien untuk mendukung efektivitas perjanjian terapi dan pengobatan CLE dengan rutin
KONTROVERSIAL PADA TERAPI CLE
Selama bertahun-tahun, banyak terapi yang berbeda telah diuji untuk keberhasilan dalam CLE dan telah masuk dan keluar berdasarkan  pertimbangan satu atau alasan lain. Subjek ini sepenuhnya dibahas dalam artikel sebelumnya.
Obat tidak lagi dianjurkan karena profil risiko-manfaat yang tidak menguntungkan termasuk fenitoin,
gold, efalizumab, siklosporin, dan siklofosfamid. Obat lain, seperti antagonis TNF - alpha (misalnya , infliximab, etanercept, adalimumab), interferon alfa, imiquimod, fototerapi, sulfasalazine, dan leflunomide tidak digunakan atau sangat terbatas karena laporan mempertanyakan potensi obat-obat tersebut dalam memperburuk penyakit yang mendasari. Meskipun berisiko sebagai monoterapi, beberapa agen ini mungkin masih berguna pada dosis rendah sebagai adjuvant untuk pengobatan standar dengan mengambil keuntungan dari efek sinergis dari terapi kombinasi ( Tabel 2 ).Seperti efek samping  telah dilaporkan dalam laporan kasus baru-baru ini ada dua pasien dengan SCLE parah berhasil diobati dengan 22,5 sampai 30mg/minggu MTX dalam kombinasi dengan siklosporin 3mg/kg/hari dalam ketidakadaan efek samping.

PEMBAHASAN

           Banyak pilihan pengobatan telah berhasil digunakan untuk mengobati lesi kulit CLE ( Tabel 3 dan 4 ) . Menghindari sinar matahari dan tinggi SPF tabir surya adalah langkah-langkah pencegahan yang sangat efektif. Terapi topikal adalah pokok dari pengobatan CLE. Pengobatan sistemik   sejak dulu, pengobatan terbukti secara klinis, seperti terapi antimalaria, untuk yang lebih baru, cutting edge imunologi dan obat-obatan biologis dengan mekanisme. Konsep terapi kombinasi juga diteliti untuk pengobatan CLE. Penelitian menunjukkan keamanan dan kemanjuran kombinasi yang berbeda dari terapi dapat memberikan rute di mana obat dengan profil efek samping yang lebih luas dapat kembali pada penggunaan rutin .
Masalah utama tentang pengobatan CLE adalah kurangnya penelitian dengan potensi yang baik dan cukup dalam mendukung manfaat dari terapi. Saat ini , hanya ada satu review sistematis obat untuk DLE pada Cochrane Database of Systemic dan tidak ada intervensi terapeutik yang didukung oleh bukti klinis yang cukup untuk mencapai Level 1  menurut kriteria OCEBM (Tabel 3). Karena saat ini, dunia kedokteran menginginkan peningkatan penekanan pada praktek kedokteran berbasis bukti, dokter mungkin akan diminta untuk membuat penilaian klinis berdasarkan kekuatan bukti dari literatur. Meskipun beberapa terapi intervensi telah didukung selama puluhan tahun oleh bukti yang bersifat anekdot dan sejarah, masa depan obat mungkin memerlukan bukti yang lebih konkrit terkait risiko dan manfaatnya. Sayangnya, obat dengan efek imunologi sering menjadi "pedang bermata dua," dengan menggunakan beberapa terapi baru tetap kontroversial karena hasil yang menjanjikan dalam mengobati CLE parah kadang bertentangan dengan beberapa laporan  yang menyarankan, ternyata obat ini benar-benar dapat memperburuk penyakit. Dengan percobaan yang dirancang lebih baik pada sejumlah pasien yang cukup, ambiguitas ini dapat mengatasi kemungkinan dermatologists untuk mengambil keuntungan dari terapi intervensi baru dan berlatih dengan penuh percaya diri di bawah naungan kedokteran berbasis bukti.






| bisnis online |

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar